Pemerintah Tambah Anggaran Subsidi Rumah Murah Rp8,6 Triliun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah menyetujui permintaan dari tiga asosiasi pengembang perumahan, yaitu Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), dan Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) untuk menambah dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang akan habis Agustus ini.
“Tadi kami sampaikan, untuk sampai di akhir tahun sebenarnya kita membutuhkan hampir 130 unit rumah FLPP yang perlu dana subsidinya. Akan tetapi Kementerian PUPR sudah mengajukan ke Menteri Keuangan untuk unit hampir 80 ribu yaitu sebesar Rp8,6 triliun,” kata Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata seusai diterima Presiden Joko Widodo, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/9) sore, seperti dilansir setkab.go.id.
Menurut Soelaeman, tambahan dana subsidi sebesar Rp8,6 triliun yang akan cair minggu depan atau maksimal dua minggu ke depan itu cukup untuk bisa mengambil napas sampai November.
“Tentu ini adalah angin segar untuk para konsumen yang sudah mendambakan masuk ke rumah, karena dengan KPR, semua bisa merealisasikan KPR-nya bagi konsumen-konsumen di seluruh Indonesia,” Soelaemanmnambahkan.
Menurut Ketua Umum REI itu, REI telah membangun rumah subsidi sebayak 400 ribu unit, Himperra 60 ribu, dan Apersi 150 ribu. Kontribusi ketiga asosiasi itu secara keseluruhan sudah hampir 65 persen dari program sejuta rumah.
“Sehingga tadi kami sampaikan kepada Bapak Presiden bahwa ini adalah kontribusi/peran kita swasta dalam membangun program rumah rakyat. Dan beliau sangat apresiasi terhadap kinerja para swasta ini,” kata Soelaeman.
Soal Pajak
Mengenai usulan yang diajukan ketiga asosiasi dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi itu, menurut Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata, menyampaikan pihaknya memohon supaya industri properti ini cepat keluar dari krisis. Untuk itu, mereka mengusulkan beberapa hal, terutama di kebijakan mengenai perpajakan.
“Kami berharap pemerintah tidak ada kebijakan baru di sektor perpajakan. Jadi tidak ada pajak progresif, tidak ada pajak laba ditahan, dan pajak PPH tetap final,” ungkap Soelaeman seraya menambahkan, dengan demikian secara psikologis akan membuat industri properti dan para pengembang bisa bekerja lebih tenang, karena tidak ada perubahan-perubahan strategi dan kebijakan di perusahaannya.
Soelaeman menambahkan, Presiden Jokowi sangat concern mengenai perizinan supaya industri properti terutama pengembang-pengembang ini bisa bekerja lebih cepat dan lebih tenang. Ia menyebutkan, kalau melihat numerik dari angka-angka seperti bunga bank, dan lain-lain, sebenarnya jauh lebih rendah daripada saat booming properti 1994. Tetapi, industri properti dengan numerik suku bunga yang rendah ini masih belum bergerak yang berarti ada hambatan psikologis.
“Hambatan psikologisnya kami sampaikan tadi bahwa kebijakan-kebijakan yang sifatnya bisa mengubah strategi pengembang menjadi menahan diri itu sebaiknya ditiadakan,” kata Soelaeman.
Hamas: Syarat Baru Israel Menunda Kesepakatan Gencatan Senja...
JALUR GAZA, SATUHARAPAN.COM-Kelompok Hamas menuduh Israel pada hari Rabu (25/12) memberlakukan "...