Pemerintah Terus Dalami Pajak Google
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia terus mendalami pajak perusahaan multinasional Amerika Serikat, Google Inc.
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan persoalan pajak Google belum dapat diselesaikan sepenuhnya karena sedang tahap dialog dan negosiasi.
“Saya enggak bisa tanggapi. Itu persoalan pajak seperti Google itu adalah sesuatu yang belum settle benar modelnya. Termasuk di negara lain, oleh karena itu pasti harus ada dialog, negosiasi,” kata Darmin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Kamis (19/1).
“Ya tentu itu akan ditentukan oleh seberapa solid masing-masing bernegosiasi. Dan itu tidak mesti negosiasi selesai. Itu bisa belum putus,” dia menambahkan.
Menurut Darmin, persoalan pajak Google bukan hanya terjadi di Indonesia saja melainkan juga di sejumlah negara. Oleh karena itu diperlukan model pemajakan yang tepat dan negosiasi yang tidak singkat.
“Intinya adalah karena modelnya belum settle, model pemajakannya, di Prancis lain, di sini lain, di itu lain, itu perlu negosiasi,” katanya.
Darmin yang datang ke Istana Kepresidenan hari ini, mengatakan tidak ada pembahasan khusus mengenai pajak Google dengan Presiden Joko Widodo.
“Enggak, enggak, enggak,” katanya.
Belum Menemui Titik Terang
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Muhammad Haniv sebelumnya mengatakan, Google hingga saat ini belum menyerahkan laporan pembukuan atas iklan yang diterima dari Indonesia.
"Katanya dia mau beri pembukuannya, tapi masa diminta file elektronik sampai bulanan. Kalau tidak diberikan ini tidak benar, karena seharusnya ini bisa sehari saja," kata Haniv saat ditanya mengenai perkembangan pajak Google di Jakarta, hari Selasa (20/12/2016).
Haniv mengatakan, proses tawaran "tax settlement" atau negosiasi yang pernah diajukan pemerintah tidak menemui titik terang, sehingga DJP ingin meminta laporan pembukuan atas iklan agar bisa menentukan besaran pajak yang tepat dari Google.
Laporan pembukuan tersebut, kata Haniv, setelah diterima, akan dimanfaatkan oleh DJP untuk pengajuan angka terbaru hasil pemeriksaan bukti permulaan agar proses pungutan pajak terhadap Google menjadi lebih cepat.
"Bukti permulaan ini berdasarkan file elektronik kemudian dihitung pajak, lalu dikenakan denda 150 persen dari total pajaknya," kata Haniv.
Dari catatan akuntansi sementara yang dimiliki oleh DJP, maka Google melalui hasil pemeriksaan bukti permulaan ini bisa dikenakan pajak lebih dari Rp 5 triliun, sudah termasuk bunga maupun denda.
"Untuk satu tahun pajak saja di 2015 dengan sanksi bunga bisa sampai Rp 3 triliun. Ini berdasarkan buku yang diberikan dari bagian akuntansinya. Belum tahun pajak 2013 dan 2014," katanya.
Haniv mencurigai Google tidak mau terbuka terhadap laporan pembukuan tersebut, karena bisa dimanfaatkan oleh otoritas pajak dari negara lain untuk memungut pajak dari perusahaan teknologi informasi asal AS itu.
Ia juga mengakui seharusnya Google menerima saja "tax settlement" yang sebelumnya diajukan pemerintah, meski prosesnya harus terhenti karena angka pembayaran pajak yang ditawarkan Google terlalu rendah.
"Kalau bukti permulaan, pajaknya justru lebih besar dari angka `tax settlement`. Denda bunga kita 150 persen. Jadi seharusnya Anda bersyukur," katanya.
Potensi Denda Hingga 400 Persen
Haniv menegaskan apabila laporan pembukuan tersebut tidak diterima, maka DJP paling cepat pada periode Januari 2017 berhak melakukan pemeriksaan pajak sepenuhnya (full investigation) dengan potensi denda hingga 400 persen.
"Kalau `full investigation" itu berarti tidak ada niat baik dalam kerja sama dengan kita untuk diaudit. Tapi dalam tahap ini mudah-mudahan Google tahun depan mau memberikan data, meski risiko kena denda 150 persen," katanya.
Namun, ia mengharapkan dalam waktu dekat ada titik terang kejelasan mengenai pajak Google, termasuk nantinya apabila pemerintah kembali mengajukan tawaran "tax settlement" dengan angka pungutan pajak yang baru tanpa sanksi.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...