Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 17:17 WIB | Jumat, 14 Februari 2014

Pemilu 2014, KWI: Banyak Caleg Gamang dengan Imannya

Sekertaris Eksekutif Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Edy Purwanto. (Foto: dok)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Eksekutif Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Edy Purwanto mengatakan, bahwa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum optimal menyelesaikan permasalah keberagaman di Indonesia. Untuk itu, ke depan KWI perlu mendampingi para calon anggota leglislatif Katolik agar lebih berkualitas, dan tidak gamang menghadapi persolan kehidupan religius di Indonesia.

“Saya amati, para anggota DPR belum memahami betul agama atau iman yang dianutnya. Kalaupun mereka tahu juga masih minim, sehingga dalam kaitannya dengan masalah-masalah di seputar kehidupan religius bangsa, kerap sekali isu-isu penting tidak mendapatkan tanggapan maupun pemecahan yang komprehensif dari para anggota DPR kita. Saya rasa mereka (anggota DPR) belum optimal, dan masih sangat jauh dari peran legislatif, baik itu menyangkut kebebasan menjalankan ibadah, dan kesetaraan pemeluk antaragama,” katanya kepada satuharapan.com, di KWI, Jakarta Pusat, Jumat (14/2).

Lebih lanjut Edy mengungkapkan, Gereja Katolik sendiri tidak bisa mensyaratkan kalau caleg yang bukan dari Agama Katolik karena itu benar-benar menyangkut dengan pembinaan internal di agama yang bersangkutan. Tetapi KWI akan mempersiapkan para caleg itu minimal empat tahun sebelum duduk sebagai anggota DPR. Sehingga, mereka yang mau mencalonkan diri di 2019, selambat-lambatnya di tahun 2015 itu harus sudah menyatakan diri secara terbuka kepada gereja. Ia menambahkan, selama ini yang terjadi mereka (caleg) tahu-tahu sudah menjadi calon dan sudah tercantum didaftar calon sementara, tidak lama kemudian tanpa melalui proses klarifikasi di kalangan masyarakat, langsung ditetapkan sebagai Daftar Calon Tetap.

“Caleg kebanyakan tahu-tahu langsung mendaftar tanpa diketahui KWI/gereja sehingga harus dicari mana yang Katolik, baru kemudian dilakukan pendampingan kepada mereka. Pendampingan seharusnya sudah dilakukan selambat-lambatnya empat tahun sebelum pemilu. Maka saya menduga bahwa caleg akan lebih berkualitas dan tidak gamang sebagai orang beriman yang kemudian akan melibatkan diri secara praktis dalam perpolitikan bangsa, dan itu idealnya. Namun, saya sendiri masih belum bisa membanyangkan karena hal itu pasti tidaklah mudah,” Edy menerangkan.

Agama Menjadi Pencerahan

Membuat agama menjadi pencerahan bagi para caleg, kata Edy, semestinya agama itu sudah menjadi pencerah sejak yang bersangkutan sendiri sadar akan iman yang dianutnya. Tetapi kemudian dalam kaitanya dengan proses niat keterlibatan di legislatif maupun di eksekutif, gereja perlu melakukan pendampingan kepada caleg. Sehingga betul-betul yang bersangkutan itu memahami bagaimana menerapkan imannya itu dalam kaitanya dengan pilihan hidup menjadi calon wakil rakyat, yang nanti akan dipilih rakyat.

“Selama ini banyak dari mereka yang belum mampu menerapkan imannya itu ke dalam pilihan status sebagai calon/anggota leglislatif. Maka gereja dalam hal ini, jika menemukan orang yang secara terbuka mencalonkan, dan memberi tahu gereja, praktis harus mendampinginya supaya kemudian mereka itu memiliki pengetahuan yang dapat diandalkan dalam kaitanya dengan keimannya,” ujar Edy.

Gereja, lanjut Edy, tidak boleh memberitahukan siapa yang layak dan tidaknya kepada jemaat. Jemaat harus dapat melihat sendiri mana yang layak untuk mereka pilih, dan mana yang tidak sebagai perwakilan dari suara rakyat.

“Saya kira gereja tidak akan terjun sampai sejauh itu (menentukan siapa calon yang layak). Karena nanti, dengan sendirinya akan menyatakan bahwa diluar nama-nama ini tidak layak untuk Anda pilih. Itu sangat mengerikan sekali,” pungkas Edy.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home