Pemimpin Berjiwa Pelayan
Dan penghargaan yang akan diperolehnya: tidak bergelar, tidak populer, bahkan tidak dikenal.
SATUHARAPAN.COM – Kebesaran seorang pemimpin bukan ditentukan oleh seberapa banyak orang yang melayaninya, melainkan seberapa banyak orang yang dia layani. Walau telah mundur dari kursi perdana menteri, Lee Kuan Yew (LKY) masih mengabdi dan mendedikasikan hidupnya sebagai menteri senior dan menteri mentor bagi rakyat Singapura selama 14 tahun (1990-2004).
Meski LKY telah tiada, tetapi kebesarannya tetap membekas untuk selamanya, bak pepatah: ”Nama yang harum lebih baik daripada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.” Nama baik lebih bernilai kekal dibandingkan harta kekayaan yang berlimpah dan kematian seseorang menunjukkan seberapa besar kehidupannya telah dipersembahkan untuk pengabdian bagi sesama. LKY telah tampil sebagai seorang pemimpin yang berjiwa pelayan, rendah hati, dan peduli terhadap bangsanya.
Kebesaran LKY, pendiri dan perdana menteri pertama, sekaligus Bapak Pembangunan Singapura itu bukan hanya dirasakan jutaan rakyat Singapura yang berbondong-bondong memadati jalan-jalan yang dilalui oleh parade rombongan pembawa peti jenazahnya, tetapi juga dunia internasional yang memberikan banyak pujian kepadanya melalui media cetak, televisi, dan daring atas prestasinya yang luar biasa, yang telah mengubah negara Singapura menjadi One of the Four Asian Tigers. Fenomena ini merupakan bentuk penghormatan terakhir rakyat Singapura untuk mengenang ”cahaya” yang memimpin dan membimbing mereka selama lebih dari tiga dekade.
Pemimpin seharusnya bukanlah seorang hamba uang (materialistis), hamba diri (egois), dan hamba nafsu (hedonis). Sebaliknya, pemimpin adalah orang-orang yang rendah hati, memiliki visi ke depan dan yang berani berjuang mewujudkan visi tersebut, apapun harga yang harus dibayar.
Lihatlah Martin Luther King Jr. yang gigih menentang rasis dan perbudakan di Amerika Serikat! Kegigihannya itu terpancar dalam pidato terkenalnya: I Have A Dream, 28 Agustus 1963. Tengoklah William Wilberforce, seorang politikus sekaligus anggota Parlemen pejuang perbudakan yang baru bisa menikmati hasil perjuangannya setelah dua minggu kematiannya, di mana Parlemen Inggris pada waktu itu akhirnya mensahkan proposal Wilberforce melalui Undang-Undang penghapusan perbudakan di seluruh daerah kekuasaan Inggris (Slave Abolition Act 1833)! Dan perhatikanlah Dietrich Bonhoeffer, pastor dan teolog anti-Nazi Jerman yang berani menentang dan bahkan merencanakan pembunuhan atas diktator Adolf Hitler! Meskipun gagal dan ia bersama beberapa rekannya kemudian mati digantung pada 9 April 1945, tetapi kisah hidup dan pelayanannya sangat memengaruhi kehidupan banyak orang melalui buku yang ia tulis dalam penjara bertema peranan orang Kristen dalam dunia sekuler: The Cost of Discipleship.
Dunia, khususnya Indonesia, sangat membutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa pelayan. Moto pelayanannya: sukarela (no reserve), pantang mundur (No retreat), dan tanpa penyesalan (no regret). Kriterianya: bukan hanya menabur janji, tetapi juga mampu merealisasikannya; berani menentang arus dan memiliki moral yang benar untuk meluruskan demokrasi yang cenderung diwarnai oleh kekerasan politik; memiliki visi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) melalui pendekatan holistik yang melibatkan berbagai aspek termasuk aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dan penghargaan yang akan diperolehnya: tidak bergelar, tidak populer, bahkan tidak dikenal. Tetapi, Tuhan yang akan memberikan anugerah dan balas jasa pada waktunya.
Ya, Indonesia sungguh membutuhkan pemimpin macam begini!
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...