Pendidik Pertanyakan Cara Mengajar Tulisan Alice Munro Setelah Pengakuan Pelecehan Anak
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Selama beberapa dekade, Robert Lecker telah membaca, mengajar, dan menulis tentang Alice Munro, pemenang Nobel dari Kanada yang terkenal dengan cerita pendeknya.
Sebagai seorang professor Bahasa Inggris di Universitas McGill di Montreal, dan penulis dari begitu banyak studi kritis terhadap fiksi Kanada, ia melihat Munro sebagai ‘berlian’ dalam mahkota literatur negara dan sumber sangat kaya untuk menjadi bahan diskusi dalam kelas.
Namun sejak mengetahui bahwa Munro menolak untuk meninggalkan suaminya setelah
menyerang dan melecehkan anak mereka, Lecker sekarang bertanya-tanya bagaimana ia bisa
mengajar menggunakan hasil karya Munro, bahkan meragukan jika ia masih harus mencoba
melakukannya.
“Saya memutuskan untuk mengajar kelas pasca sarjana tentang Munro pada musim dingin 2025,” kata Lecker. “Sekarang saya mempertanyakan apakah saya merasa itu hal yang etis untuk menawarkan kelas tersebut.”
Andrea Robin Skinner, anak perempuan dari Munro dan James Munro, menulis di Toronto Star pada awal bulan ini bahwa ia telah dilecehkan sejak umur sembilan tahun oleh suami kedua Munro, Gerard Fremlin. Ia menyatakan bahwa Fremlin melanjutkan untuk menyakiti dan
melecehkannya selama beberapa tahun setelahnya, lalu mulai kehilangan minat terhadapnya
ketika ia memasuki usia remaja. Ketika ia memasuki umur 20-an, ia memberitahu ibunya tentang kekerasan yang dilakukan Fremlin.
Tetapi Munro, setelah meninggalkan Fremlin sesaat, memutuskan untuk kembali dan bertahan bersamanya sampai Fremlin wafat pada 2013. Ia
menjelaskan pada Skinner bahwa dia ‘terlalu mencintainya’ untuk meninggalkannya.
Ketika Munro meninggal di bulan Mei pada usia 92 tahun, dia terkenal di seluruh dunia karena narasinya yang mendokumentasikan wawasan langka tentang rahasia, motivasi, hasrat, dan kekejaman karakternya, terutama yang dialami kaum perempuan. Para penggemar mengutipnya bukan hanya sebagai inspirasi literasi, tetapi juga sebagai pedoman moral, dan
terkadang menyebutnya sebagai ‘Saint Alice’.
Sebuah esai New York Times oleh penulis Kanada, Sheila Heti, yang rilis tak lama setelah meninggalnya Munro memiliki judul ‘Saya Tidak Menulis Seperti Alice Munro, tapi Saya Ingin Hidup Sepertinya’.
“Tidak ada yang tahu kompromi apa yang orang lain buat, terutama ketika orang tersebut begitu tertutup dan mengubah pencobaan hidupnya menjadi fiksi,” tulis Heti. “Namun apapun
kenyataan dari kehidupan sehari-harinya, ia tetap bersinar sebagai simbol dari kemurnian
artistik.”
Para pendidik di Kanada dan yang lainnya sekarang mempertimbangkan kembali mengenai
hidup Munro dan hasil karyanya. Universitas Western di London, Ontario, yang merupakan
almamater Munro, telah mengunggah sebuah pernyataan di situs resmi mereka bahwa mereka
sedang ‘butuh waktu untuk mempertimbangkan dampak yang ada’ mengenai berita yang
muncul.
Sejak 2018, Universitas Western telah menawarkan Alice Munro Chair in Creativity,
dengan misi untuk ‘memimpin budaya kreatif dari Fakultas Seni dan Humaniora, melayani
sebagai mentor dan model.’
Posisi tersebut, yang dipegang oleh Heti pada tahun ajaran lalu, akan ditinggal dalam kekosongan karena ‘kami dengan cermat mempertimbangkan warisan Munro dan hubungannya dengan Western,’ menurut sekolah tersebut.
Permintaan kepada agen Heti dan pihak humasnya tidak mendapatkan jawaban dalam waktu
dekat.
Pada semester musim gugur di Universitas Harvard, para penulis dan anggota fakultas Laura van den Berg dan Neel Mukherjee akan berkolaborasi dalam mengajar ‘Reading for Fiction Writers,’ yang berisi tentang ulasan mengenai karya literasi mulai dari fiksi ilmiah Octavia Butler
sampai fiksi ‘realis’ milik Munro.
Van den Berg, seorang penulis yang telah mendapatkan banyak penghargaan yang menghasilkan kumpulan cerita ‘The Isle of Youth’ dan novel ‘State of Paradise’, mengatakan bahwa kegagalan Munro dalam mendukung Skinner telah memaksanya untuk mempertimbangkan kembali pendekatan yang akan ia berikan dalam kelas.
“Saya tidak bisa membaca hasil karya Munro dengan cara yang sama lagi, dan tidak akan bisa
mengajar tentang tulisannya dengan cara yang sama juga,” katanya.
“Bagi saya, hal yang begitu menyakitkan tentang apa yang telah dilewati Andrea Skinner adalah terbungkam. Dan perasaan bahwa ia akhirnya bisa melepaskan keterbungkamannya setelah ibunya meninggal. Bagi saya, untuk berdiri di hadapan sekelompok siswa dan membaca materi pengajaran yang telah saya siapkan (tentang tulisan Munro) akan terasa seperti membungkam Skinner untuk yang kedua kalinya.”
Salah satu mantan siswa Lecker, Kellier Elrick, mengatakan ia masih berusaha mencari tahu bagaimana cara mengajarkan dan melihat hasil karya Munro. Tulisan-tulisan Munro setelah
memperkaya hidupnya, katanya, dan ia tidak menyesal pernah membaca mereka. Memasuki tahun keempat di McGill, Elrick melihat narasi paralel dan ‘kesulitan untuk mencocokkan’
tentang ‘Munro sang penulis’ dan ‘Munro sang ibu’.
“Saya pikir mungkin membaca hasil karya seorang penulis secara biografis adalah hal yang
produktif sekaligus berbahaya,” ia menambahkan. “Itu membiarkan kita (sebagai pembaca)
untuk memahami beberapa hal, tetapi ada beberapa hal yang tidak benar-benar bisa kita ketahui tentang kehidupan dan apa maksud dari penulis itu sendiri.”
Salah satu dari cerita Munro yang akan diajarkan oleh van den Berg dan Mukherjee adalah
‘Friend of My Youth’, dinarasikan oleh seorang perempuan yang sudah lama terasingkan oleh
ibunya, yang ‘gagasannya sejalan dengan beberapa gagasan progresif pada masanya, dan gagasan saya sejalan dengan gagasan yang disukai pada masa saya.’
Mukherjee, seorang finalis Booker Prize di 2014 untuk novel ‘The Lives of Others’, tidak yakin tentang bagaimana untuk bekerja dengan berita terbaru mengenai Munro selagi mengajar tentang ‘Friend of My Youth’ yang didedikasikan oleh sang penulis kepada ibunya.
Ia percaya dalam memisahkan hasil karya dari sang pembuat karyanya, bahwa kita semua memiliki kesalahan kita masing-masing. Ia menganggap dirinya sangat bertentangan, membagikan ketakutan van den Berg bahwa Munro memilih suaminya disbanding anaknya, tetapi juga menemukan bahwa karyanya mungkin telah memperoleh “hal-hal yang lebih mendalam, karena sekarang kita mengetahui sesuatu dalam hidupnya yang mungkin dia coba
terima.”
“Saya tidak melihat penulis sebagai manusia suci,” ia menambahkan. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...