Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 12:16 WIB | Jumat, 23 Oktober 2015

Penduduk Kristen di Singkil 15.000, Mengapa Hanya Boleh Ada Satu Gereja?

Monique Rijkers (Foto: Tommy Handoko)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jumlah penduduk beragama Kristen di Singkil sedikitnya 15.000 orang. Namun, masyarakat setempat—dengan mengacu pada perjanjian tahun 1979—hanya memperbolehkan berdiri satu gereja besar dan empat undung-undung, atau gereja kecil. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah masih tepat bila penolakan berdirinya gereja didasarkan pada perjanjian yang sudah tidak mengikuti perkembangan zaman tersebut.

Pendapat ini dikatakan oleh Monique Rijkers, wartawan yang pernah meliput kejadian di Aceh Singkil pada tahun 2012, yang oleh Yayasan Komunikasi Indonesia, diminta berbicara sebagai narasumber dalam diskusi yang berjudul Peristiwa Singkil di Negara Pancasila, di kantor Yayasan Komunikasi Indonesia, Jakarta, Kamis (22/10).

Berdasarkan fakta di lapangan yang ia himpun pada 2012, Monique mengatakan bahwa masyarakat yang menolak kehadiran gereja selalu mengacu pada perjanjian pada tahun 1979, yang mencakup lima poin. Salah satunya adalah gereja yang diperbolehkan berdiri hanya satu yaitu gereja yang dibangun pada tahun 1932, namanya Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) serta empat gereja kecil atau undung-undung.

"Saya tidak dapat menilai, jika protes dilakukan merujuk kepada tahun 1979 ini sangat susah karena dibangun sebelum 1979, ada yang tahun 1932, 1940, 1942, 1950. Jadi mau merujuk kemana? Sedangkan IMB sebelum tahun 1979 belum ada," tanya Monique.

Menurut Monique, penduduk di Singkil yang beragama Kristen mencapai 15.000 orang sedangkan gereja hanya diperbolehkan satu dan 4 gereja kecil. "Ada beberapa gereja namun ada di pelosok yang harus melewati kebun untuk sampai ke gereja," kata Monique.

Menurut Monique, peristiwa kekerasan atas nama agama di Singkil yang terjadi pada pertengahan bulan ini bukan pertama kalinya terjadi. "Waktu saya ke Singkil tahun 2012  saya meliput penutupan 20 gereja dan 2 tempat ibadah agama lokal, yaitu Parmalim," tutur dia,

Menurut dia, tempat-tempat ibadah itu umumnya berada dipelosok dan sulit dijangkau.

"Masyarakat di sana unik, karena kebanyakan orang Batak, di sana kebanyakan gereja Pakpak Dairi," kata dia.

Namun dalam investigasinya, Monique kemudian dapat berjumpa dengan salah seorang tokoh intoleran yang sudah sangat dikenal. "Yang menarik marganya Sinaga, jadi ini orang Batak melawan orang Batak. Mengapa menolak kehadiran gereja, harus menyegel? Mereka mengacu pada peraturan pada tahun 1979, mereka meminta gereja hanya boleh satu yang dibangun pada tahun 1932, namanya GKPD dan 4 gereja kecil atau undung-undung," kata Monique.

Menurut dia, itulah alasan yang memicu masyarakat menolak kehadiran gereja bahkan membakarnya.

"Tidak ada unsur politik dan Pilkada," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari

Ikuti berita kami di Facebook

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home