Pengadilan Banding Jabar Vonis Mati Herry Wirawan
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan tinggi Jawa Barat mengabulkan banding dari jaksa dan menjatuhkan menghukum mati Herry Wirawan, yang terbukti melakukan kekerasan seksual setidaknya terhadap 13 santri selama lima tahun dan menghamili beberapa dari mereka.
Herry Wirawan telah divonis oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung pada bulan Februari dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Dia dituduh memperkosa gadis berusia antara 11 dan 14 tahun dari tahun 2016 hingga 2021 di sekolah, hotel, atau apartemen sewaan di kota bandung Jawa Barat. Sedikitnya sembilan bayi dilaporkan lahir sebagai akibat dari perkosaan tersebut.
Kasusnya menarik kemarahan publik karena ada beberapa korban mengelamai kekerasan selama beberapa tahun. Polisi mengatakan para korban terlalu takut untuk memberi tahu apa yang mereka alami.
Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung dalam putusannya hari Senin (4/4) menyetujui banding jaksa untuk hukuman mati, dan aset milik Herry Wirawan untuk disita.
"Apa yang dia lakukan telah menyebabkan trauma dan penderitaan bagi para korban dan orang tua mereka," kata putusan pengadilan yang dirilis di situsnya, hari Selasa (5/4). “Terdakwa telah mencemarkan nama baik pesantren.”
Pengadilan Negeri Bandung memutuskan Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup. Berdasarkan Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain.
Total keseluruhan restitusi untuk 12 anak korban sebesar Rp 331.527.186 yang diajukan oleh Jaksa, akan dibebeankan kepada KPPPA, kata Ketua Majelis Hakim, Yohanes Purnomo Suryo.
Majelis hakim PN Bandun g menyebut undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut. Sehingga, hakim menyatakan restitusi sebesar Rp 331 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.
Namun pengadilan tinggi memutuskan agar asetnya disita, termasuk yayasan miliknya, dan dilelang untuk kepentingan para korban dan anak-anak mereka.
Hakim juga memutuskan bahwa sembilan anak yang lahir dari korban harus diserahkan ke Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan evaluasi berkala “sampai korban siap secara mental untuk mengasuh anak-anaknya, dan situasi memungkinkan anak-anak mereka dikembalikan ke asuhan korban.”
Namun hakim pengadilan banding menolak permintaan jaksa untuk hukuman kebiri kimia, dengan mengatakan seseorang yang dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup tidak dapat dikenakan hukuman lain, selain pencabutan beberapa hak.
Kuasa hukum Wirawan, Ira Mambo, mengatakan akan menyarankan kliennya untuk mengajukan kasasi atas vonis tersebut ke Mahkamah Agung. Mereka memiliki tujuh hari untuk melakukannya sebelum keputusan pengadilan menjadi final.
Wirawan mengaku bersalah dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya selama persidangan.
Polisi Jawa Barat mulai mengusut kasus ini dan menangkap Wirawan Mei tahun lalu ketika orang tua korban melapor ke polisi setelah putri mereka pulang berlibur dan mengaku baru saja melahirkan.
Kasus ini tidak dipublikasikan sampai bulan November, ketika proses pengadilan dimulai. Polisi mengatakan mereka menunggu untuk mempublikasikannya untuk mencegah masalah psikologis dan sosial lebih lanjut pada para korban.
Pada bulan Januari, Presiden Joko Widodo mengatakan dia prihatin dengan kasus pelecehan seksual di pesantren dan meminta parlemen untuk mempercepat pembahasan RUU tentang kekerasan seksual. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...