Pengadilan Militer Turun Tangan untuk Satwa Liar
BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM - Aktivis lingkungan memberi apresiasi kepada Pengadilan Militer Banda Aceh yang menyidangkan oknum TNI dalam kasus dugaan kepemilikan satwa liar. Diharapkan tindakan itu menjadi langkah awal penegakan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
"Persidangan itu penting dan berharap upaya penegakan undang-undang itu tidak pandang bulu," kata Ratno Sugito, aktivis Forum Orangutan Aceh (FORA) di Banda Aceh, Rabu (23/10).
Pengadilan Militer Banda Aceh, Selasa (22/10), menggelar sidang perdana terhadap dua oknum TNI terkait dugaan kepemilikan satwa liar yang dilindungi secara undang-undang. Kedua tedakwa berinisial JR dengan dakwaan kepemilikan awetan (offset) harimau dan beruang, terdakwa dengan inisial R dengan dakwaan kepemilikan awetan harimau. Kedua terdakwa bertugas di wilayah Kabupaten Aceh Tengah.
Oditur Mayor Sus Saifuddin R bertindak selaku Oditur Militer untuk terdakwa JR, sedangkan Mayor Uj Kuswara selaku oditur militer terdakwa R. Pada Kamis (24/10), JR divonis dua bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider tiga bulan penjara, R divonis dengan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 2,5 juta.
Ratno menyatakan, pengadilan tersebut merupakan celah dalam upaya penegakan UU No 5 Tahun 1990 di Aceh. Ia mengingatkan masih banyak kasus yang belum naik persidangan dan seakan menguap begitu saja. Kepemilikan orangutan yang baru-baru ini disita Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, misalnya, belum ada satu kasus pun yang masuk persidangan. Ia mencontohkan kasus "Pongky", orangutan yang beberapa waktu lalu disita dari oknum polisi yang bertugas di Polres Tamiang, dan "Manohara" orangutan yang disita dari oknum PNS.
Efek Jera
FOR A mencatat sepuluh tahun belakangan ini belum ada berkas terkait kepemilikan satwa liar terutama orangutan yang masuk ke ranah hukum. Kalau pun ada, hanya satu atau dua kasus. Anehnya, bila dilihat dari jumlah orangutan yang masuk ke karantina di Sibolangit, Sumatera Utara, 60 persen pelaku pemelihara secara ilegal itu adalah oknum aparatur negara, baik PNS, TNI, ataupun Polri.
Disidangkannya terdakwa JR dan R berarti mengubah catatan buku kosong yang diharapkan memberikan efek jera bagi terdakwa. "Persidangan ini menjadi titik terang perlindungan satwa, dan saya berharap agar BKSDA Aceh berani meniru keseriusan TNI dalam perlindungan satwa liar di Aceh," katanya.
Jumlah keanekaragaman flora dan fauna Aceh menyusut serta berbading terbalik dengan perubahan fungsi kawasan hutan selama ini. Keadaan itu diperparah dengan praktik perburuan dan perdagangan satwa yang tidak pernah masuk ke dalam ranah hukum.
Oditur Mayor Uj Kuswara menegaskan butuh sinergisitas berbagai kalangan dalam upaya menegakkan UU No 5 Tahun 1990. (suara-alam.com; hukumonline)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...