Pengamat: Pengosongan Kolom Agama Sesuai UU
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo memastikan setiap WNI tetap mendapatkan kartu tanda penduduk meskipun agama yang diyakini tidak termasuk dalam enam agama resmi yang diakui di Indonesia.
"Kebijakan kami tetap didata. Dia berkeyakinan apapun mau Pangestu dan lainnya. Soal kolom agama dikosongkan. Tapi datanya ada," kata Tjahjo Kumolo dalam acara Laporan Akhir Tahun Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jakarta, hari Selasa (23/2), seperti dikutip dari laman Kemendagri.
Tjahjo menegaskan bahwa penduduk harus tetap didata meskipun tak menyebut agama dan keyakinannya. KTP menurut mendagri ibarat tanda identitas pasti dan "nyawa" seorang warga negara untuk bisa mengurus hidup, pendidikan dan pekerjaannya.
Lebih jauh untuk mendapatkan basis data yang lebih valid, tahun ini Kemendagri menurut Tjahjo akan proaktif dalam pembuatan akta kelahiran dan KTP.
"Mudah-mudahan 2016 (lahir) di tiap negara bisa dapatkan akta kelahiran, mau lahir di puskesmas pun, kami jemput bola. Ini penting untuk pendataan. Mudah-mudahan ini bisa dipercepat," kata Tjahjo Kumolo.
Pendataan penduduk tak hanya memberikan akses kepada warga negara, juga akan memudahkan pemerintah dalam basis data untuk Pemilu mendatang. Hal ini menurut mendagri akan menguntungkan baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
Peneliti The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono menilai pendapat Mendagri Tjahjo Kumolo membolehkan pengosongan kolom agama di KTP elektronik bagi penganut di luar enam agama yang diakui, sesuai isi UU nomor 24 tahun 2013.
"Itu merupakan isi dari Pasal 64 ayat 5, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, hari Selasa (23/2).
Dia menjelaskan, dalam pasal tersebut disebutkan elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Anto mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam KTP elektronik adalah agama resmi yang diakui Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.
"Sedangkan penganut ajaran kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongkan kolom agama yang tertera di e-KTP," ujarnya.
Hal itu menurut dia, artinya warga negara Indonesia yang memeluk kepercayaan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Malim, boleh mengosongan kolom agama mereka. Menurut Anto, persoalan kolom KTP merupakan salah satu diskriminasi terhadap berkeyakinan di Indonesia.
"Itu terlihat dari pemaksaan kepada pemeluk kepercayaan dengan mencantumkan agama yang bukan kepercayaan mereka pada kolom agama di KTP adalah pengingkaran terhadap hak asasi manusia," ujarnya.
Dia menilai hal tersebut bertentangan dengan UU No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia di dalam pasal 22 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu.
Sementara itu di ayat 2, menurut dia disebutkan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
"Oleh karena itu saya menilai kebijakan untuk mengosongkan kolom agama di KTP merupakan jalan tengah untuk menghindari diskriminasi bagi pemeluk kepercayaan yang minoritas di Indonesia," katanya.
Namun dia menilai langkah itu belum cukup bagi pemerintah untuk melindungi kelompok minoritas karena itu harus segera membentuk peraturan perundangan yang komprehensif guna mengatur perlindungan berkeyakinan di Indonesia. (Ant)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...