Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 11:52 WIB | Senin, 07 September 2015

Penghargaan untuk Dedikasi Penari Fajar Satriadi

Penghargaan untuk Dedikasi Penari Fajar Satriadi
Fajar Satriadi ketika menerima Hennessy Award di Jakarta, 7 Agustus lalu. (Foto: Facebook/Iedha Susiyanti)
Penghargaan untuk Dedikasi Penari Fajar Satriadi
Fajar Satriadi. (Foto: Sotyati)
Penghargaan untuk Dedikasi Penari Fajar Satriadi
Fajar Satriadi sebagai Raden Mas Said dalam sendratari kolosal Matah Ati. (Foto; Facebook/Pradnya Paramita)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penari, koreografer, dan sutradara Fajar Satriadi (47) penggal awal Agustus lalu mendapatkan Hennesy Award untuk kategori koreografi. Penghargaan ia terima di Raffles, Jakarta. Berita itu muncul sebagai ucapan selamat di akun Facebook Fajar Satriadi dari sahabat-sahabatnya.  

“Ya, saya dapat penghargaan dari Hennesy untuk kategori koreografer. Mereka melihat dedikasi saya di dunia tari sebagai penari, koreografer, dan sutradara,” kata pemeran utama Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said dalam sendratari kolosal Matah Ati itu kepada satuharapan.com, belum lama ini.  

Bahagia dan terharu ia rasakan ketika intensitasnya dalam proses kreatif yang tumbuh dan berkelanjutan mendapatkan penghargaan dari sebuah brand. “Keikhlasan atas darma bakti saya sebagai penari untuk Ibu Pertiwi bisa dilihat dan dihargai, dan itu membuat saya tersadar atas kerja panjang saya yang tidak pernah saya pikirkan diakui dan diperhitungkan,” ia menambahkan.

Fajar mengibaratkan penghargaan tetesan keringat yang keluar dari tubuh dan jatuh diterima bumi dengan ikhlas. “Artinya, yang saya kerjakan dan lakukan di dalam dunia tari adalah suatu rasa bangga menjadi Indonesia, khususnya Jawa, dan dengan semangat mencoba memahami kembali kultur saya, masa lalu, kemudian saya sikapi dengan kerja kreatif dalam konteks tari untuk ekspresi, dari refleksi saya dalam hidup dan kehidupan untuk masa sekarang,” kata Fajar tentang penghargaan itu.

Ia pun berharap penghargaan itu mampu membawa inspirasi untuk masa akan datang, untuk dirinya, untuk keluarga, sahabat-sahabat, masyarakat seni, ataupun masyarakat Indonesia, untuk selalu bangga menjadi diri sendiri dengan latar belakang budaya sendiri. “Saya tidak menolak pengaruh budaya luar, selama kita pahami diri kita sendiri, tubuh kita sendiri dalam konteks kultur,” dia menambahkan.

Bagi dunia kesenian tari indonesia, penghargaan itu lebih untuk mengingatkan untuk tidak bersombong diri. “Yang saya yakini, setiap upaya hal kreatif dalam tari, saya selalu ingin menyumbangkan darma bakti untuk Indonesia lewat perjuangan saya di dunia tari,” katanya.

Pentas Tari Internasional

Fajar yang dilahirkan di Jakarta, 16 Oktober 1968, belajar menari sejak kelas lima sekolah dasar. Ayahnya, seorang militer, yang justru menularkan kecintaannya atas budaya Jawa kepada anak-anaknya. Seni membuat hidup seseorang bergerak dinamis, kata Fajar mengutip ayahnya.

Fajar, yang menyelesaikan program pascasarjananya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, dalam dua puluh tahun terakhir tampil dalam pertunjukan-pertunjukan tari akbar.

Pada tahun 1990, ia menjadi penari utama dalam lakon drama tari Suropati garapan Retno Maruti dan Sentot Sudiharto. Pada 1994, ia dipercaya Sardono W Kusumo memerankan tokoh Diponegoro dalam Opera Diponegoro.

Atilah Soeryadjaya memberikan kepercayaan kepadanya untuk memerankan RM Said dalam drama kolosal Matah Ati (2011), dan kemudian tampil dalam sendratari kolosal Ariah (2013).

Keikhlasan Fajar memilih berkarya di dunia tari yang tidak segemerlap seni pop tidak membuatnya “terpinggirkan”. Tari dan koreografi mengantar langkahnya tampil dalam berbagai pentas tari internasional dan memberikan materi dalam lokakarya tari di beberapa negara Eropa dan Amerika.

Pada akhir pekan ini, Fajar akan turut ambil bagian dalam Solo International Performing Arts yang digelar di Benteng Vastenburg Solo, tepatnya 10 – 12 September ini. Gelaran Life in The Contemporary World (Mahakarya Seni Pertunjukan) itu, diikuti juga diikuti seniman dari Korea Selatan, Singapura, Filipina, dan Jerman.    

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home