Penulis Cantik NZ Ungkap Derita Rakyat Papua dalam Novel
WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Perempuan berparas cantik asal New Zealand (NZ) atau Selandia Baru ini menjalani masa kecilnya di Papua.
Ia melihat berbagai kesedihan dan represi yang dialami penduduk asli Papua, orang-orang yang menurutnya dipinggirkan.
Kehidupan penuh duka dan derita -- diwarnai kematian massal akibat penyakit dan hidup yang tertekan -- ia jadikan sebagai latar belakang novel yang ditulisnya, The Earth Cries Out, yang diluncurkan tadi malam (14/03) di Selandia Baru.
Bonnie Etherington, nama perempuan ini, mengatakan, ia menulis novelnya dimotivasi oleh masa kecilnya di Papua.
Lebih jauh, ia ingin agar publik lebih tahu bagaimana keadaan hidup rakyat Papua yang sesungguhnya.
Novelnya sendiri tidak terutama berkisah tentang rakyat Papua, melainkan tentang seorang perempuan bernama Ruth, yang jadi pelaku utama novel.
Namun, di sana-sini ia menyelipkan juga penjelasan tentang apa dan bagaimana Papua.
Dikisahkan, Ruth adalah putri dari keluarga Nelson Isaac dan istrinya Miriam.
Keluarga itu kehilangan putri mereka yang lain, Julia (adik Ruth) dalam sebuah kebakaran dan itu menyebabkan kesedihan yang luar biasa.
Keluarga itu kemudian mengikuti panggilan untuk bekerja di Papua, membangun jalan. Dan, mereka seakan mendapat penebusan atas kesedihan mereka dari pekerjaan mereka di sana.
Mereka hidup di sebuah desa di pegunungan pada tahun 1990-an, di masa ketika kerusuhan sipil dan penindasan masih berlangsung.
Di tengah situasi seperti itu, Ruth dan orang tuanya berjuang melawan kesedihan mereka.
Bukan yang Pertama
Novel yang diterbitkan Penguin Book ini bukan novel pertama yang mengangkat kehidupan rakyat Papua sebagai latar belakang bagi penyembuhan duka pribadi.
Tahun 2007 terbit sebuah novel berjudul The Shack, yang menjadi novel bestseller, dan tahun lalu difilmkan dan ditayangkan di bioskop-bioskop ternama AS. (Baca juga: Novel Laris Dunia Diinspirasi Masa Kecil di Papua)
Penulisnya, William Paul Young, mengatakan inspirasinya untuk menulis buku tidak terlepas dari masa kecilnya yang suram dan menimbulkan trauma ketika berada di Papua, mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai misionaris.
The Shack bercerita tentang seorang ayah yang berkabung atas kematian putrinya dan meminta lawatan Tuhan.
Novel tersebut telah terjual 20 juta eksemplar, membuatnya menjadi salah satu buku terlaris sepanjang masa.
Berbeda dengan William Paul Young yang mengalami pengalaman negatif dan traumatis di Papua, dalam novel ini Etherington justru menyelami kehidupan rakyat Papua dengan penuh empati.
Dalam novel ini, tokoh utama, Ruth, digambarkan mencari penebusan akan kesedihannya dengan memberikan kesaksian dan menyampaikan kisah-kisah orang lain, orang-orang yang telah dibungkam.
Pengalaman di Papua
Etherington mengaku belum pernah mengalami kehilangan adik seperti tokoh novelnya.
Itu sebabnya, ia mengatakan tantangan terbesar menulis novel ini adalah mengumpulkan keberanian untuk menulisnya.
Ehterington mengatakan keluarganya pindah ke Papua pada tahun 1990-an, ketika ayahnya bekerja untuk sebuah gereja, menyediakan layanan bahasa, pendidikan dan kesehatan.
Ia menghabiskan tahun-tahun awal di Papua dan lewat novel ini, kata dia, ia ingin menjelajahi berbagai isu di provinsi itu secara lebih luas.
"Ini adalah kisah kesaksian tentang Papua pada akhir 1990-an. Situasi politik Papua adalah kompleks dan novel ini menunjukkan hanya beberapa bagian darinya," kata dia, kepada Asia Pacific Report.
Di mata dia, Papua adalah wilayah yang diduduki Indonesia sejak 1960-an. "Sejarahnya kaya dan beragam, tetapi ini adalah tempat yang sering dilupakan atau dijadikan stereotip oleh seluruh dunia," kata dia.
Gambaran ini, lebih jelas lagi bila membaca narasi yang dipaparkan oleh Ruth, dalam novel ini.
"Dutch New Guinea, Irian Barat, Irian Jaya, Papua Barat. Nama provinsi ini berubah (dan masih berubah). Sejarahnya adalah invasi-invasi dan divisi-divisi. Semua orang lapar untuk mendapatkan sepotong 'Dapur Jawa'. Ambil beberapa cendana di sini, beberapa minyak di sana, dan jangan lupa emas dan tembaga. Ayah bercerita tentang invasi besar (Belanda, penjelajah, Amerika dan Jepang dan Australia dalam Perang Dunia Kedua, para misionaris, para penambang, tentara Indonesia). Dia mengatakan kepada saya tentang pria bernama Suharto di Jawa, dan bagaimana ia dulu seorang jenderal yang mengambil alih kekuasaan di tengah malam. Adalah Suharto presiden pada tahun 1969, ketika Indonesia secara resmi (luasnya) melesat lebih dari 162.000 mil persegi, berkat Papua. Setengah dari tubuh burung Nugini tetap terpisah dari setengah punggungnya, kehilangan ekornya, karena tentara Indonesia."
Kisah tentang Mereka yang Dibungkam
Mengingat sejarahnya yang rumit, Etherington mengatakan dia tidak ingin melakukan homogenisasi wilayah Papua dan rakyatnya yang banyak, tetapi lebih memberikan sekilas dari keberagamannya.
"Pada skala yang lebih besar, novel ini adalah kisah tentang mendengarkan suara-suara dari orang-orang yang telah dibungkam dalam banyak hal, yang telah menjadi terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Tapi, kemudian, juga tentang ketekunan mereka dan tanah mereka."
Etherington menolak menyebut nama desa dimana ia tinggal di Papua dengan alasan untuk "melindungi orang-orang yang masih tinggal di sana."
Kehilangan dan penderitaan menjadi warna yang kental dalam novel ini, dan itu tidak lepas dari kematian massal yang pernah ia saksikan di sana, di masa kecilnya.
"Kematian dan sakit adalah hal yang biasa dalam kehidupan di desa tempat saya tumbuh," kenang Etherington.
Kematian massal itu, kata dia, terutama disebabkan tingginya angka kematian bayi dan penyakit malaria.
Pertemuan pertama Etherington dengan begitu banyak kematian muncul ketika ia baru berusia lima tahun.
"Aku berada di pemakaman sahabatku, seorang anak yang memiliki nama yang sama seperti namaku. Dia meninggal karena malaria. Aku ingat betapa kecilnya peti matinya."
Etherington mengatakan judul novelnya, diambil dari ayat Alkitab, Roma 8:22 yang berbunyi: Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.
"Kita tahu bahwa segala sesuatu di bumi ini menangis dalam derita seperti seorang ibu ketika melahirkan. Dan dalam beberapa hal, novel ini adalah tentang relasi antara perempuan, khususnya para ibu dan putri-putri mereka, dan nuansa kehilangan dan rasa sakit, serta cinta yang bisa mewarnai hubungan mereka," kata dia kepada Manawatu Standard.
Tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri
Etherington mengatakan ia berharap novelnya akan menarik perhatian dunia terhadap apa yang dihadapi oleh rakyat Papua.
Kendati demikian, ketika ditanya apa harapannya bagi situasi politik di Papua di masa depan, ia mengelak untuk memberikan pandangan.
Kata dia, bukan tempat bagi dia untuk mengatakan bagaimana penduduk asli Papua meraih keadilan bagi mereka dan bagi tanah mereka.
"Saya mendukung martabat dan keadilan bagi rakyat Papua dan tanah mereka. Bagaimana cara terbaik untuk memperolehnya, bukan tempatnya bagi saya mengatakannya."
"Adalah tempatnya bagi rakyat asli Papua untuk mengatakan, apakah mereka ingin mendapatkan otonomi politik penuh dari Indonesia atau berbagai konfigurasi rekonsiliasi dan pemulihan lainnya," kata dia.
"Saya berharap suara mereka didengarkan dan dihormati."
Etherington saat ini sedang melanjutkan studi PhDnya di Northwestern University, Chicago berfokus pada ekologi tropis di Asia Tenggara dan literatur Oceania.
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...