Peradilan Adat Diakui Dalam Tatanan Hukum Nasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wakil Ketua PN Jakarta Utara, Lilik Mulyadi mengatakan peradilan adat diakui secara yuridis, sosiologis, filisofis dan teoritis yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945, Ketetapan MPR (Tap MPR), hingga Keputusan Presiden.
"Peradilan adat diakui secara yuridis, sosiologis, filisofis dan teoretis. Misalnya pasal 18 B ayat (2), pasal 28 I ayat (3), pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945, Tap MPR IX/MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2005," kata Lilik Mulya dalam acara Dialog Nasional Bersama Mahkamah Agung, "Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional", pada Kamis (10/10) di Jakarta.
Menurut Lilik Mulyadi, kehadiran Pasal 1 KUHP di zaman penjajahan Belanda memicu matinya peradilan adat. "Di masa itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda saat itu. Namun akan dirasakan lain jika kebijakan itu masih diteruskan hingga saat ini," ungkap pejabat PN itu.
"Jadi secara nasional implisit sebetulnya pengadilan adat itu sudah diatur, tapi secara eksplisitnya tidak dilanjutkan," kata Lilik Mulyadi di hadapan Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dan belasan perwakilan PN dari berbagai daerah yang hadir siang itu.
Dihormati
Menurut Lilik, semua ketentuan dasar mengenai peradilan adat pada hakikatnya sudah diatur dan dihormati eksistensinya dalam kesatuan masyarakat adat berserta dengan hak-hak tradisionalnya. "Dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat lokal, eksistensi peradilan adat juga tetap diakui," kata Lilik Mulyadi.
Wakil Ketua PN Jakarta Utara itu menilai bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) mengakui eksistensi peradilan adat. Konklusi dasar yurisprudensi MA itu menentukan bahwa MA sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan kepala adat bagi pelanggar hukum adat.
Peradilan Adat Bersifat Mandiri
Selanjutnya, Lilik Mulyadi mengusulkan, ada tiga model dalam menggagas konsep ideal peradilan adat di Indonesia. Pertama, peradilan adat bersifat mandiri, kedua peradilan adat masuk dalam kamar peradilan umum, dan ketiga, peradilan umum mengadili perkara adat dengan mengakomodir nilai-nilai adat.
"Namun, yang paling penting itu sekarang adalah kemauan politik hukum pemerintah. Mau tidak melanjutkannya dalam bentuk perundang-undangan?" kata Lilik optimis.
Nilai-nilai Universal
Searah dengan Lilik Mulyadi, Rikardo Simarmata berpendapat bahwa sebagian orang Indonesia terjebak dalam pemikiran hukum kolonial yang tidak melihat hukum sebagai representasi nilai-nilai universial, melainkan sebagai representasi identitas (kultural) dan beraspek kekuasan.
Oleh karena itu, Rikardo Simarmata mengusulkan dua hal dalam dialog nasional tersebut: pertama, mengakui dan memberikan kedudukan pada peradilan adat pada hukum adat tidak lantas berbanding lurus dengan kurangnya kekuasan negara atas administrasi keadilan dan terfasilitasnya identitas-identitas kultural yang sempit.
Kedua, pengakuan dan pemberian kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional seyogyannya dengan ikhtiar untuk menjadikan hukum (baik hukum negara maupun hukum adat) sebagai representasi nilai-nilai universial, bukan representasi nilai-nilai kelompok-kelompok kepentingan yang sempit.
Dialog Nasional Bersama Mahkamah Agung pada Kamis ini merupakan rangkaian acara yang diselenggarakan oleh HuMa sejak Senin (7/10) yang lalu. HuMa merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak pada isu pembaharuan hukum bidang sumberdaya alam.
HuMa melalui PHR telah lebih dari satu dekade mendorong hukum rakyat dapat melengkapi proses penegakan hukum di Indonesia. HuMa memiliki keyakinan bahwa bila hukum rakyat ditempatkan dengan tegas sebagai bagian integratif dari sistem hukum nasional, maka tatanan hukum Indonesia tidak akan stagnan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...