Perang Suriah: Perempuan Dijadikan Senjata
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Kelompok hak asasi manusia, hari Senin (22/6) dalam laporannya menyebutkan bahwa tahanan perempuan di penjara-penjara pemerintah Suriah digunakan sebagai "senjata perang."
Laporan yang diterbitkan oleh Jaringan Euro-Mediterania untuk Hak Asasi Manusia (EMHRN) mendokumentasikan pelecehan seksual dan penyiksaan terhadap tahanan berdasarkan kesaksian puluhan mantan tahanan. Hal itu digambarkan sebagai tindakan "sewenang-wenang."
"Perempuan semakin dijadikan senjata (weaponised) dalam perang berdarah di Suriah yang sedang berlangsung, dengan dampak mengerikan bagi struktur sosial negara itu,’’ tulis laporan itu.
EMHRN merilis laporan pada malam pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada hari Selasa ini (23/6) yang diharapkan dapat mengatasi situasi HAM di Suriah.
Laporan setebal 42 halaman itu berjudul "Penahanan Perempuan di Suriah: Senjata Perang dan Penyiksaan." Seperti dilaporkan AFP, laporan itu juga mendokumentasikan kasus ibu hamil yang ditahan di penjara dan perempuan yang dipenjara bersama anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Penderitaan Panjang
Rincian laporan itu menyebutkan "pelanggaran yang menghebohkan yang dilakukan terhadap perempuan oleh pemerintah Suriah ... secara meluas dan sistematis, serta penggunaan perempuan sebagai objek tawar-menawar di bursa sandera dengan kelompok-kelompok bersenjata anti-pemerintah".
Perempuan ditahan di penjara pemerintah Suriah dan mengalami "berbagai bentuk perampasan, ancaman, sel isolasi, serta berbagai bentuk penyiksaan, termasuk pemerkosaan dan pelecehan seksual," katanya.
Penderitaan mereka berlangsung lama setelah mereka dibebaskan, katanya, mengutip orang-orang dipecat dari pekerjaan, orang yang ditolak oleh keluarga mereka atau dipaksa untuk menceraikan suami mereka.
Laila, seorang aktivis 38 tahun dan ibu dari dua anak yang dipenjara pada tahun 2013, mengingat interogasinya "di ruang dingin penuh tikus" dan mengatakan dia dipaksa berdiri telanjang meskipun dia sedang menstruasi.
Tahanan lain, Sawsan, mengatakan bahwa dia diperkosa oleh 10 anggota pasukan keamanan, perkosaan pertama terjadi di depan anaknya yang berusia 16 tahun.
Perempuan lain mengatakan mereka dipaksa untuk membuat pengakuan palsu dan mengatakan mereka telah berlatih "jihad seks" bersama pemberontak yang melawan rezim.
Presiden EMHRN, Michel Tubiana, mendesak masyarakat internasional untuk mengerahkan "upaya intensif" untuk membantu tahanan perempuan. "Upaya yang intens perlu dilakukan di tingkat internasional untuk rehabilitasi yang memadai dan mekanisme perlindungan bagi para perempuan," katanya.
Observatorium Suriah yang berbasis di Inggris untuk Hak Asasi Manusia memperkirakan bahwa lebih dari 200.000 orang, termasuk ribuan perempuan, yang ditahan di pusat-pusat penahanan rezim Suriah.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...