Peraturan Jam Malam Perempuan di Aceh Diskriminatif
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kebijakan Pemerintah Daerah Banda Aceh untuk memberlakukan jam malam bagi perempuan dinilai diksiminatif dan membatasi ruang gerak perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Instruksi Wali Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian direvisi dengan Instruksi Nomor 2 tahun 2015 tentang Pengawasan dan Penertiban Pelayanan Tempat Wisata/Rekreasi, Hiburan, Penyedia Layanan Internet, Cafe dan sejenisnya, yang didasarkan pada Instruksi Gubernur Aceh Nomor 02 Tahun 2014 Tentang Penertiban Cafe dan Layanan Internet se-Aceh ditentang oleh Komnas Perempuan.
“Intruksi dalam Perda tersebut memuat aturan-aturan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan karena dibangun atas asumsi gender yang merugikan perempuan serta dapat mengakibatkan pengurangan atau pembatasan pada hak untuk berekspresi, bekerja, bermobilitas yang sudah diakui sebagai hak warga negara,” ujar komisioner Komnas Perempuan dalam rilisnya yang dikirim ke satuharapan.com, Kamis (18/6).
Selain itu, peraturan ini juga dinilai akan membentuk stigma negatif masyarakat pada perempuan yang keluar malam. Padahal, sebagian perempuan disinyalir keluar malam hari untuk bekerja di berbagai tempat, seperti di swalayan 24 jam, restoran, atau cafe.
“Atas dasar aturan ini pula, perempuan tidak lagi bisa beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Pilihan-pilihan perempuan untuk menjalankan peran publik akan sangat terbatas. Aturan ini juga dapat dijadikan pembenar oleh masyarakat untuk menolak kehadiran perempuan di ruang publik, termasuk sebagai pejabat publik yang mengharuskan beraktifitas tanpa batasan waktu, siang atau malam hari,” ujar Komnas Perempuan.
Sebelumnya, peraturan diberlakukan untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak kekerasan. Komnas Perempuan menilai jika pembatasan jam malam bagi perempuan Aceh ini dikaitkan dengan tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Aceh, ada ketidaksesuaian antara kondisi objektif di masyarakat dengan kebijakan yang dikeluarkan.
“Sepanjang tahun 2013-2014, Jaringan Pemantau Aceh (JPA) 231 mencatat terjadi 539 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 356 (66 persen) kasus kekerasan di ranah domestik dan 183 (34 persen) kasus kekerasan di ranah publik. Dari data ini seharusnya Gubernur Aceh dan Wali Kota Banda Aceh lebih memaksimalkan upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan daripada membatasi ruang gerak kaum perempuan,” ujar Komnas Perempuan.
Untuk itulah, Komnas Perempuan mendorong Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo untuk ambil tindakan tegas dengan membatalkan peraturan tersebut. Komnas Perempuan memaparkan, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Derah dicantumkan, perda tidak boleh diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan dan gender.
Sebelumnya dikabarkan dalam Instruksi Gubernur Aceh Nomor 2 tahun 2014 disebutkan pekerja perempuan di cafe dan layanan internet tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 21.00 WIB dan cafe serta internet juga tidak boleh melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00, kecuali bersama Mahramnya. Instruksi Gubernur Aceh ini kemudian ditindaklanjuti oleh Wali Kota Banda Aceh dengan mengeluarkan instruksi Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian direvisi dengan instruksi Nomor 2 Tahun 2015 dengan memperpanjang batasan jam kerja bagi perempuan di tempat-tempat tersebut hingga pukul 23.00 WIB.
Editor : Bayu Probo
Polusi Udara Parah, Pengadilan India Minta Pembatasan Kendar...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan tinggi India pada hari Jumat (22/11) memerintahkan pihak berwe...