Peraturan Tumpang Tindih, Nelayan Menjadi Korban
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Munir, salah satu dari beberapa nelayan tradisional ditahan Kepolisian Daerah (Polda Jawa Timur) karena menentang penggalian pasir di Perairan Selat Madura beberapa waktu lalu. Nasibnya ini mencerminkan adanya kerancuan sejumlah perundang-undangan di Indonesia.
Mereka menentang operasi penambangan pasir yang dilakukan PT Gora Gahana, sebuah perusahaan penambang pasir laut yang berbasis di Jakarta. Demikian Abdul Halim Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dalam sebuah konferensi pers, JUmat (12/4) di Jakarta. Konerefnsi KIARA itu bertema “Bersih-Bersih Birokrat Pemberi Izin Perusak Lingkungan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.”
Abdul Halim menambahkan, salah satu contoh bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap nelayan. “Munir bersama dengan ketiga orang lainnya, dipanggil Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk dimintai keterangan sebagai saksi PT.Gora Gahana yang dianggap telah melakukan penambangan pasir laut secara ilegal di Selat Madura sejak tahun 2006.” Munir bersama ketiga rekannya dikenai pasal 162 Undang Undang No.4 tahun 2009 tentang Mineral Batubara.
Abdul Halim mengatakan, “Harusnya Munir bisa dilindungi Pasal 66 Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang intinya memberikan hak imunitas bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Jelas, para nelayan tersebut tidak dapat dikenakan pasal pidana seperti yang disangkakan polisi,” kata dia.
Pada konferensi pers tersebut, Abdul Halim mengutarakan bahwa Munir hanya salah satu contoh dari tumpang tindihnya peraturan antar kementerian yang tidak berpihak kepada mereka. Lebih lanjut Abdul Halim mengatakan bahwa tidak hanya Undang Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang menjadi pokok pembahasan konferensi pers tersebut masih direvisi beberapa pasalnya terutama yang berhubungan dengan pelestarian sumber daya pesisir. Sayangnya, mereka yang memiliki akses untuk pengelolaannya, tetapi justru pemilik modal besar yang diberi akses.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir, Ahmad Martin Hadiwinata, Ketua Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA mengatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), mengkhawatirkan tidak menyadari bahwa peraturan tersebut tumpang tindih. Apalagi RUU revisi yang sedang dibahas mengindikaskan tidak mengindahkan hak masyarakat adat setempat.
Editor : Sabar Subekti
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...