RUU Pesisir Bisa Membuat Nelayan Tradisional Tersingkir
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP3) yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang revisi Undang-Undang Pesisir dari pasal 1 ayat 18 dianggap tidak mempunyai perubahan berarti dalam substansi hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pernyataan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, dalam konferensi pers bertajuk "Bersih-bersih birokrat Pemberi Izin Perusak Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil" pada (12/4) di Kalibata, Jakarta
“Setali tiga uang dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yang akan mengkapling dan mengeksploitasi sumber daya pesisir dengan memberikan izin kepada subyek hukum baik individu maupun badan hukum,” kata Ahmad Martin, Ketua Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA. Menurut dia, IP3 bertentangan dengan konsep pengelolaan sumber daya pesisir secara open access dan common property terhadap wilayah pesisir.
Martin menambahkan bahwa IP3 tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subjek penting dalam pemanfaatan sumber daya pesisir, bahkan terjadi kemunduran aturan subjek yang dapat melakukan permohonan izin hanya orang, baik perseorangan maupun badan hukum.
Ahmad Martin mengatakan, “Ada ancaman kriminalisasi di Pasal 75 RUU Revisi UU Pesisir terhadap mereka yang melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir tanpa IP3 yang sah."
Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan dengan sumber daya alam yang melimpah. Di sektor kelautan, sumber daya ikan sangat melimpah, belum lagi keanekaragaman biota laut seperti rumput laut, dan terumbu karang. Dengan potensi itu maka setidaknya pemerintah perlu membuat aturan untuk semua pihak agar bisa terkoordinir dengan baik.
Agar semua aspek berjalan dengan baik maka dikeluarkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Akan tetapi hendaknya pengaturan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan pengelolaan lingkungan pesisir dan masyarakat, khususnya nelayan tradisional.
Dengan terbitnya UU No. 27/ 2007, pemanfaatan sumbe rdaya alam bertujuan untuk sebesar - besarnya mewujudkan kemakmuran rakyat. Di lain pihak, kebijakan ini telah melahirkan konflik kepemilikan tanah dan kekerasan (kriminalisasi) yang berkepanjangan, dan kenyataannya UU tersebut mengabaikan substansi yang disampaikan Mahkamah Konstitusi, kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Peikanan (KIARA), Abdul Halim.
Pemerintah kurang memikirkan dampak kebijakan privatisasi ini, dengan berbagai macam kemudahan diberikan kepada pihak swasta dan asing untuk bisa menanam modalnya. Harapannya, negara mendapatkan pemasukan, tetapi mengesampingkan tujuan UU tersebut untuk mensejahterakan masyarakat pesisir.
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...