Perdagangan Komodo NTT Libatkan Sindikat Internasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mabes Polri, menyebut kasus perdagangan ilegal komodo asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jawa Timur diduga melibatkan sindikat internasional.
"Saat ini masih proses penyelidikan, tim akan bergerak ke NTT mencari penampungan satwa liar, kalau sudah dapat pemburunya dapat kita sidik," kata Kepala Subdit I Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri Kombes Adi Karya Tobing di Jakarta, Selasa (2/4).
Saat ini, polisi sudah menahan tujuh tersangka, lima diamankan oleh Polda Jawa Timur sedangkan dua orang lagi diamankan oleh Mabes Polri.
Saat ini polisi juga sedang mencari orang-orang yang menjadi pemburu komodo (Varanus komodoensis), di habitat asalnya di Flores, NTT.
Berdasarkan keterangan dari tersangka, mereka pernah melakukan transaksi 41 ekor komodo dalam tiga tahun terakhir.
Dia mengatakan, para pelaku perdagangan tersebut melakukan transaksi menggunakan rekening bersama, oleh sebab itu penyedia rekening bersama tersebut juga ikut ditahan karena dianggap turut membantu perdagangan ilegal satwa liar.
"Rekening bersama ini sudah dilacak dan diamankan, kami akan meminta pihak bank dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), untuk melacak ke mana aliran dana tersebut, sehingga kita bisa mengungkap sampai ke akar-akarnya," kata dia.
Dia mengatakan, pengungkapan kasus ini berawal dari patroli di dunia maya, polisi menemukan akun di laman facebook yang menyediakan satwa-satwa liar, termasuk komodo, ke luar negeri.
Komodo tersebut, diburu lalu dibawa ke penampungan di Jawa Timur menggunakan angkutan darat, bayi-bayi komodo tersebut dimasukkan ke dalam tabung.
Enam komodo yang hendak dijual itu, berhasil diselamatkan dalam keadaan sehat, saat ini komodo-komodo tersebut berada di kandang transit di Jawa Timur.
Para tersangka akan dijerat dengan pasal UU no 5 Tahun 1990, tentang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan hukuman paling lama lima tahun penjara.
Adi berharap UU Nomor 5 Tahun 1990 bisa segera direvisi, karena undang-undang tersebut dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
"Sekarang sebagian besar pedagangan satwa liar dilindungi melalui daring, undang-undang tersebut tidak mengaturnya, makanya harus segera direvisi. Selain itu hukuman yang diberikan untuk pelaku masih terlalu ringan sehingga tidak ada efek jera," kata dia.(Antaranews.com)
Editor : Melki Pangaribuan
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...