Perdamaian Layak Diperjuangkan
Kedua belah pihak yang saling memelototi perlu berbalik badan untuk memandang refleksinya sendiri di cermin.
SATUHARAPAN.COM – Seperti déjà vu, ledakan kembali mewarnai langit Timur Tengah, suara tembakan mengiringi langkah, orang-orang kehilangan nyawa, rumah, dan rasa aman. Namun, tidak seperti konflik Israel-Palestina, kali ini tak ada riuh rendah kontes pemandu sorak di luar panggung. Tak terdengar orang memekik ”Save Yemen” atau ”Pray for Yemen” atau ”Stop Arab Saudi”.
Orang bisa jadi sangat inkonsisten dalam memilih titik tumpunya. Ketika konflik Israel-Palestina pecah, penduduk dunia dengan mudah melakukan polarisasi untuk memihak salah satu kubu. Israel menyatakan bahwa mereka punya hak untuk melindungi diri, sedangkan Palestina menuding Israel telah merampas tanahnya. Ekspose media yang tidak berimbang makin memanaskan suasana. Satu pihak ditunjuk sebagai tokoh antagonis, sedangkan pihak lainnya adalah protagonis yang teraniaya. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, namun hanya Sang Protagonis yang memperoleh tempat untuk menampilkan penderitaannya di media. Gambar-gambar anak kecil yang berlumuran darah bertebaran di jejaring sosial untuk memicu amarah para simpatisan.
Namun, ketika Yaman diserang oleh militer pimpinan Saudi, orang pun kebingungan menentukan sikap. Kenapa? Bisa jadi karena tak ada dinding beton yang paling kuat mengotakkan kedua belah pihak, yaitu agama. Padahal konflik Gaza bukanlah konflik agama, melainkan konflik politik dan kekuasaan. Sentimen keagamaan menjadi salah satu determinan kuat dalam mengalamatkan dukungan. Karenanya, manusia kerap gagal melihat suatu permasalahan dari lensa yang jernih & tidak bias.
Apakah tujuan sesungguhnya dari pendukung-pendukung ini? Kenapa mereka menulis surat, beradu argumen dengan teman, dan menyerukan dukungannya di jalanan? Apakah mereka sungguh peduli pada kesejahteraan pihak-pihak yang berkonflik atau hanya ingin menjadi bagian dari suatu tim? Mereka sibuk menyalahkan pihak lain, merendahkan moral lawan, namun pada saat bersamaan mereka sendiri bertindak sangat egois. Seakan prioritas mereka adalah memenangkan argumen, bukan menolong mereka yang menderita. Tampaknya ketika menyangkut Timur Tengah, prasangka lebih kuat daripada rasionalitas dan ego mengalahkan empati.
Ketika telunjuk kita mengarah pada orang lain, sesungguhnya empat jari lain sedang mengarah pada diri sendiri. Terus mencari kesalahan orang lain dan gagal memeriksa ke dalam diri adalah cara terbaik untuk melanggengkan status quo. Tak ada pihak yang berusaha mengubah perspektifnya. Hari demi hari, tahun demi tahun, permasalahan serupa menyeruak dan respons defensif yang sama segera diambil. Kebencian terus disajikan di atas meja bagi anak-cucu yang haus akan perdamaian.
Apabila mereka menurunkan pertahanan masing-masing, tentu makin besar kesempatan untuk menemukan jalan tengah demi hidup yang lebih berkualitas. Kedua belah pihak yang saling memelototi perlu berbalik badan untuk memandang refleksinya sendiri di cermin. Perdamaian memang mahal, namun layak diperjuangkan!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...