Perempuan Berlatih Bela Diri Karena Hadapi Masalah Kekerasan Berbasis Jender
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Pernikahan yang penuh kekerasan secara emosional dan fisik selama 11 tahun membuat Rani Miranti bergabung dengan klub pertarungan yang telah melatihnya seni bela diri, sehingga memungkinkannya untuk melawan kekerasan.
Miranti adalah salah satu dari sekian banyak perempuan Indonesia yang mengikuti kelas bela diri karena kekerasan berbasis Jender masih menjadi tantangan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
“Perlindungan pemerintah biasanya diberikan setelah kekerasan terjadi, dan kita tidak pernah tahu kapan hal itu akan terjadi,” kata orang tua tunggal berusia 38 tahun dengan tiga anak ini. “Sayangnya, kalau tiba-tiba datang, tidak ada yang bisa membantu. Jadi, kita perlu memiliki kemampuan pertahanan diri.”
Komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan, yang dikenal sebagai Komnas Perempuan, mencatat 289.111 kasus pada tahun lalu, turun sekitar 12% dari 339.782 pada tahun 2022, tahun ketika undang-undang tentang kekerasan seksual diberlakukan.
Namun, komisi tersebut menyatakan bahwa data terbaru tersebut mewakili “puncak gunung es” dalam kekerasan berbasis jender. Jumlah kasus sebenarnya diduga jauh lebih tinggi, demikian laporan tahunan Komnas Perempuan tahun 2023 yang dirilis pada bulan Maret.
Banyaknya kasus yang tidak dilaporkan disebabkan oleh beberapa faktor: terbatasnya akses korban terhadap layanan pengaduan, lemahnya sistem dokumentasi kasus, dan tingginya stigma sosial terhadap korban kekerasan, kata laporan tersebut.
Parlemen Indonesia menyetujui undang-undang yang berdampak luas pada tahun 2022 yang menetapkan hukuman bagi kekerasan seksual dan menjamin ketentuan, restitusi atau pemulihan lainnya bagi para korban dan penyintas.
Undang-undang tersebut disahkan sepekan setelah pengadilan tinggi Indonesia menjatuhkan hukuman mati kepada seorang pimpinan pesantren karena memperkosa setidaknya 13 santri selama lima tahun dan menghamili beberapa dari mereka. Gadis-gadis itu berusia antara 11 dan 14 tahun dan diperkosa selama beberapa tahun, sehingga memicu kemarahan publik mengapa dia tidak ditangkap lebih awal.
Pada bulan Juli, KPU memecat ketua KPU setelah dinyatakan bersalah melakukan pelecehan seksual menyusul pengaduan dari seorang pegawai. Ini adalah kasus terbaru dari serangkaian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di negara kepulauan yang luas dan berpenduduk lebih dari 277 juta orang.
Dengan meningkatnya kasus, semakin banyak perempuan dan anak perempuan Indonesia yang takut akan kekerasan fisik beralih ke cara-cara alternatif untuk menjamin keselamatan mereka, termasuk kelas dan klub bela diri.
Bagi Miranti, yang suaminya berulang kali menyerang dan menganiayanya secara fisik, Muay Thai adalah pertahanan diri yang paling cocok, karena membantunya memperoleh lebih banyak keterampilan, kepercayaan diri, dan teknik pencegahan.
Mengenakan hijab merah dan sarung tinju, guru salah satu SD Islam di Jakarta ini mempertunjukkan kepiawaiannya memukul dan menendang ke arah lawan tandingnya. Ini adalah bagian dari rutinitas latihannya di kursus bela diri campuran di Jakarta Timur, tempat ia mendaftar hampir dua tahun lalu setelah ia memutuskan untuk keluar dari pernikahannya yang penuh kekerasan pada tahun 2018.
Berasal dari Thailand, Muay Thai adalah bentuk kickboxing yang mencakup serangan lutut dan siku, tendangan dan pukulan.
“Sekarang, aku punya cara. …Saya punya kemampuan untuk melawan,” kata Miranti. “Tetapi yang lebih penting lagi, saya telah belajar menghindari situasi dengan lebih waspada terhadap lingkungan sekitar saya.”
Pelatih perempuan Miranti, Rahimatul Hasanah, mengaku kewalahan dengan semakin banyaknya permintaan perempuan yang ingin belajar bela diri, terutama dalam latihan privat, karena instruktur Muay Thai perempuan sulit ditemukan.
“Banyak yang merasa tidak nyaman dilatih oleh instruktur laki-laki, atau membutuhkan kelas privat di rumah,” tambahnya.
Dia mengatakan bahwa sebagian besar perempuan yang mengikuti kelas bela diri adalah orang yang pemalu, dan beberapa di antara mereka pernah mengalami pelecehan di masa lalu.
“Mempelajari bela diri fisik tidak hanya memberikan alat untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap situasi negatif, tetapi juga dapat membangun kepercayaan diri untuk pertahanan mental,” kata Hasanah.
Suaminya, petarung MMA profesional Rizal Zulmi, mengatakan meningkatnya tren perempuan yang belajar seni bela diri menunjukkan kepada para pelaku kekerasan dan penjahat bahwa “tidak semua perempuan adalah mangsa yang mudah.”
Sepasang pelatih pencak silat ini membuka BKT Fight Club tiga tahun lalu dengan jumlah siswa sekitar 40 orang.
“Olah raga tarung akhir-akhir ini sedang populer di kalangan perempuan,” kata Zulmi yang telah meraih sedikitnya 30 medali di tingkat regional, nasional, dan internasional. “Mereka membutuhkan seni bela diri semacam ini untuk membela diri di tengah maraknya kejahatan yang menimpa perempuan.”
Rangi Wirantika Sudrajat, perempuan Indonesia lainnya yang mengikuti kelas MMA, mengatakan pelatihan fisik dalam seni bela diri telah memberikan kontribusi terbesar dalam tugasnya sebagai dokter umum di Medecins Sans Frontières, yang dikenal sebagai Doctors Without Borders.
Dokter berusia 31 tahun itu telah dikerahkan ke beberapa kamp pengungsi di Pakistan, Yaman, Sudan Selatan, Bangladesh dan d Sierra Leone. Ia mengatakan bahwa seni bela diri tidak hanya membangun rasa percaya diri dan kekuatan fisik, namun juga berfungsi sebagai manajemen stres.
“Saya dapat menyalurkan seluruh emosi terpendam, kemarahan dan kesedihan saya dengan cara yang sehat melalui Muay Thai,” katanya.
Andy Yentriyani, Ketua Komisioner Komnas Perempuan, menyambut baik fenomena semakin banyaknya perempuan yang mengikuti kelas bela diri.
“Hal ini tentu sangat penting, karena terkadang banyak korban yang begitu terkejut hingga tidak bisa memberikan respon apa pun atas kejadian yang menimpanya,” kata Yentriyani. “Dan ketika mereka menyadarinya, hal itu mungkin sudah terlambat atau membutuhkan proses yang sangat panjang.”
Di antara jenis kekerasan yang tercatat terjadi di ruang pribadi adalah percobaan pemerkosaan, perkosaan dalam pernikahan, aborsi paksa, dan inses. Mayoritas korban adalah pelajar berusia antara 18 dan 24 tahun, sedangkan mayoritas pelaku yang dilaporkan adalah mantan atau pasangan laki-laki mereka saat ini.
Hampir semua korban berusia lebih muda dan memiliki tingkat pendidikan lebih rendah dibandingkan pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan seringkali melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan, kata Yentriyani.
Dia mengatakan bahwa lebih banyak orang yang melaporkan pelecehan seksual pada tahun 2023, setahun setelah undang-undang kekerasan seksual diberlakukan. Komisinya menerima hampir 800 laporan tentang pelecehan seksual online dan fisik tahun lalu, sekitar empat kali lipat dari 200 laporan kasus pemerkosaan yang diterima pada periode yang sama.
“Banyak warga masyarakat kita yang masih menganggap kasus kekerasan seksual sebagai sesuatu yang tercela dan memalukan bagi perempuan korban,” kata Yentriyani, dan banyak keluarga kemudian memutuskan untuk tidak melaporkannya. “Kita masih sering melihat situasi membungkam korban, termasuk kekerasan terhadap istri.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...