Perempuan “Murtad” Sudan: Iman Membantuku Bertahan
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Seorang ibu muda Kristen, dipenjara enam bulan di Sudan karena menolak melepaskan imannya. Kepada Fox News, Selasa (16/9) Meriam Yehya Ibrahim bersaksi betapa iman membantunya bertahan hidup.
“Iman berarti kehidupan. Jika Anda tidak memiliki iman, Anda tidak hidup,” kata Ibrahim melalui penerjemah selama wawancara TV Amerika pertamanya sejak dibebaskan.
Perempuan Sudan dan keluarganya tiba di New Hampshire pada Juli lalu setelah tekanan internasional membantu mengamankan pembebasannya, BBC melaporkan.
Ia dilahirkan dari ayah Muslim Ethiopia. Menurut penafsiran Majelis Ulama Sudan terhadap hukum Islam, anak perempuan seharusnya mengikuti iman ayahnya.
Namun, ayah Ibrahim dilaporkan meninggalkan keluarga ketika putrinya masih kecil. Dia dibesarkan oleh ibunya yang beriman Kristen.
Setelah menikah dengan pria Katolik, Ibrahim didakwa dengan perzinaan, karena perempuan Muslim dilarang menikah dengan orang di luar agama mereka. Tuduhan yang lebih serius, murtad, ditambahkan ke kasusnya setelah para pejabat menyadari bahwa ia tidak mau melepaskan keyakinannya.
Ibrahim dilemparkan ke penjara Khartoum dengan anak balita dan dijatuhi hukuman gantung.
Ibu muda itu sedang hamil pada saat dipenjara dan sipir penjara menolak untuk membiarkan dia melahirkan di rumah sakit. Ibrahim melahirkan anaknya di sel penjara dengan kaki masih terikat di lantai penjara.
“Situasi ini sulit, tapi saya yakin Tuhan akan berdiri di sisi saya,” kata Ibrahim kepada Fox News.
Meriam Ibrahim ingat waktu itu ada sekelompok ulama mengunjunginya di penjara dan memaksanya menjadi seorang Muslim.
“Iman saya adalah satu-satunya senjata yang saya miliki saat bertemu dengan para ulama itu karena itulah apa yang saya percaya,” kata dia.
Karena suami Ibrahim memiliki kewarganegaraan Amerika, kedutaan besar Amerika mulai bekerja pada kasusnya. Tuduhan kepada Meriam digugurkan pada pengadilan banding.
Namun, dia bilang ia masih sedih terhadap para perempuan lain yang masih dianiaya di Sudan.
Menurut Human Rights Watch, perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional ditargetkan oleh pihak berwenang karena kejahatan yang berkaitan dengan hubungan pribadi dan seksualitas. Hukuman untuk perilaku ini secara teratur termasuk cambukan dan rajam.
“Ada banyak Meriam di Sudan dan di seluruh dunia. Ini bukan hanya saya,” kata Ibrahim. (huffingtonpost.com)
Artikel terkait perjuangan iman Merriam Yehya Ibrahim dapat Anda baca di:
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...