Perempuan-perempuan Perkasa di Balik Ikhwanul Muslimin
MESIR, SATUHARAPAN.COM – Peran perempuan di negara-negara Timur Tengah sangat jarang terdengar karena masih terpengaruh oleh pemikiran keagamaan yang konservatif. Namun, tidak demikian dengan perempuan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka berani menghadang tank-tank musuh untuk mundur dan berada di garis terdepan untuk melawan para tentara.
Ketika tank-tank tentara yang dilengkapi dengan gas air mata datang dan berhenti di depan sekelompok pengunjuk rasa yang berbaring di jalan, seorang perempuan bernama Wafaa Hefny tidak ragu-ragu melakukan aksinya.
“Aku berjalan ke arah tentara, berdiri di masing-masing tank dan berkata ‘Ibu Anda akan mengutuk Anda. Jangan menembak saudara Anda sendiri—mundur,Â' kenangnya. “Akhirnya semua tank mundur.”
Hefny (46) adalah dosen di sebuah universitas dan aktif di keanggotaan Ikhwanul Muslimin. Dengan pakaian tradisionalnya berwarna merah dan rambutnya yang beruban, ia menceritakan perjuangannya bersama Ikhwanul Muslimin dengan semangat.
Ketika pasukan keamanan mulai membubarkan aksi duduk yang dilakukan oleh pendukung Presiden Mohamed Morsi di Rabaa Al-Adawiya pada 14 Agustus lalu, Hefny dan suaminya segera pergi ke sana.
Hefny telah menghabiskan beberapa minggu berkemah dalam aksi protes Rabaa dengan keluarganya. Ketika tiba di tempat itu, tepatnya di Nasr City, Kairo, ia tidak menemukan jalan masuk. Jadi, dia bergabung dengan orang-orang pergi ke dekat Al-Tayaran Street dimana mereka memaksa tank untuk mundur.
Setelah menghadapi tank-tank itu, Hefny menghabiskan malam itu dengan mengangkut mayat dari reruntuhan Rabaa.
Perempuan di Jalan
Hefny bukanlah satu-satunya perempuan anggota Ikhwanul yang turun ke jalan-jalan Kairo ketika kamp protes dibubarkan.
Meskipun Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok Islamis 85 tahun yang didirikan oleh Hasan El-Banna, dipandang sebagai kelompok laki-laki yang dominan, ia memiliki banyak saudara perempuan yang ikut berpartisipasi dalam peranan yang berbeda. Mungkin mereka tidak sampai kepada tingkat yang tertinggi, bagaimanapun, karena banyak orang dari kelompok ini yang ditangkap.
“Perempuan lebih aktif di jalan daripada laki-laki,” kata Sameh Eid, mantan anggota Ikhwanul Muslimin.
“Mereka terlibat aktif dalam hubungan masyarakat dan kampanye pemilu. Mereka adalah anggota yang paling bersemangat dan antusias,” kata dia.
Hefny, yang adalah cucu dari Hassan El-Bana, setuju bahwa perempuan merupakan bagian penting dari organisasi. Menurut dia, perempuan sangat cocok untuk media dan kegiatan kampanye karena keahlian mereka dan merupakan bagian penting dari Ikhwanul dan kampanye pemilu selama era Mubarak. Sedangkan anggota laki-laki dari kelompok Ikhwanul Muslimin, yang ditekan dibawah kepemimpinan mantan presiden mempunyai resiko yang lebih besar yang ditargetkan oleh pasukan keamanan.
Perempuan juga mengambil bagian dalam Ikhwanul Muslimin mengatur badan amal, sekolah dan komite lokal yang terlibat dalam kegiatan yang berbeda.
Ketika beberapa kelompok membentuk Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) setelah Revolusi Januari 2011, banyak kaum perempuan bergabung dengan partai politik. Ketika partai politik tersebut memenangkan jumlah kursi terbesar dalam pemilu 2011, tiga dari total sembilan anggota parlemen adalah perempuan dari anggota partai.
Setahun kemudian, Morsi telah digulingkan dari kekuasaan dan beberapa kelompok mengalami tindakan kekerasan dari sebuah pengamanan besar-besaran, tetapi anggota perempuan masih banyak yang aktif.
Sebuah kelompok yang disebut Perempuan Melawan Kudeta itu dibentuk tak lama setelah penghapusan Morsi untuk menyerukan pemulihannya. Kelompok ini memiliki kehadiran yang signifikan dalam protes kamp pro-Morsi di Rabaa Al-Adawiya dan Nahda Square dengan ratusan perempuan bergabung dalam demonstrasi.
Kegiatan perempuan dalam aksi duduk sangat bervariasi mulai dari membuat biskuit Idul Fitri, memasang dekorasi dan datang dengan sistem pengumpulan sampah untuk memberikan dukungan moral bagi para korban dan relawan di lapangan rumah sakit dan melakukan pawai.
Pada malam pembubaran, banyak perempuan yang hadir di Rabaa. Hefny mengatakan pada saat itu kepada pengunjuk rasa untuk mementingkan keselamatan mereka karena mungkin sebentar lagi akan terjadi tindakan kekerasan terhadap mereka. Namun, tidak ada yang pergi. Akhirnya dia sendiri berangkat pagi saat fajar hanya untuk kembali tak lama setelah pergi ke Al-Tayaran.
Demikian pula, menyusul pembubaran kamp kedua di Nahda Square Giza, banyak demonstran termasuk perempuan pergi ke Mustafa Mahmoud Square berusaha membuat aksi duduk.
“Orang-orang mengatakan kepada kami: Anda adalah beban, kami tidak dapat melindungi diri kami ataupun Anda. Dan mereka meminta kami untuk meninggalkan tempat tersebut, tapi kami menolak,” kata Farouk Nahla (28), seorang anggota FJP, dokter dan wartawan di media center Nahda.
Segera setelah peristiwa itu, berbagai bentrokan masih terjadi di beberapa daerah dan para perempuan ini mendirikan rumah sakit
Perempuan di Antara Orang Mati
Berada di jalan-jalan, bagaimanapun, merupakan harga yang mahal bagi perempuan, dengan resiko tewas, terluka atau ditahan.
Sebuah laporan oleh Front Pembela Demonstran Mesir (FDEP), kelompok independen dari aktifis relawan dan pengacara, mendaftar nama-nama 24 perempuan yang dinyatakan tewas sejak 14 Agustus lalu.
16 orang dari mereka meninggal di pembubaran Rabaa Al-Adawiya. Diantara mereka adalah Asmaa El- Beltagy (17), putri terkemuka Ikhwanul, Mohamed El-Beltagy yang saat ini ditahan menghadapi tuduhan penghasutan kekerasan.
Para perempuan juga menjadi target dalam gelombang penangkapan para anggota Ikhwanul dan pemimpin sejak kekerasan Rabaa.
Sebuah laporan berita tanggal 9 September di situs resmi FJP menyatakan jumlah perempuan yang ditangkap mencapai 240 orang. Namun, kelompok tersebut tidak memiliki daftar namanya.
Aya Alaa, juru bicara Perempuan Melawan Kudeta, mengatakan untuk mendukung angka-angka tersebut banyak pihak lain telah merilis, tetapi hal itu sangat sulit untuk ditambahkan untuk menemukan angka yang pasti.
“Ada penggelapan dari otoritas penjara dan penuntutan pada angka,” katanya.
Menurut laporan FDEP, setidaknya 32 perempuan yang berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin telah ditahan sejak 14 Agustus lalu. 19 dari mereka telah dibebaskan sementara lokasi tiga tidak diketahui.
Beberapa perempuan yang ditangkap, menolak untuk menceritakan pengalaman mereka kepada media karena penyelidikan akan kasus mereka masih berlangsung.
Tindakan keras itu menyebabkan banyaknya tokoh kunci Ikhwanul Muslimin berada di balik jeruji besi, termasuk pemimpin spiritual kelompok Mohamed Badie dan wakilnya Khairat El-Shater.
Eid menolak gagasan bahwa tidak adanya kader laki-laki dapat menyebabkan perempuan mengambil peran kunci.
“Hal itu tidak mungkin,” kata dia. “Kelompok ini sangat hirarkis dan disetiap daerah ada garis kedua laki-laki atau lebih yang bisa mengambil peran tersebut. Tapi tidak bagi perempuan.”
“Memang benar bahwa perempuan sangat aktif di lapangan, tetapi Ikhwanul dibangun oleh laki-laki, namun, peran perempuan disini saling melengkapi,” tambahnya.
Ketidaksamaan Internal
Awalnya, Ikhwanul Muslimin yang beranggotakan perempuan ini dibentuk sebagai sebuah kelompok dalam Ikhwanul pada April 1933 di kota Ismailia. Mereka berada di bawah pimpinan Ikhwanul Muslimin, Hassan El-Banna, tetapi memiliki wakil perempuan.
Melalu pertemuan, ceramah dan tulisan-tulisan itu bertujuan untuk mempromosikan moral dan kebajikan Islam, dan memerangi “takhayul umum” di kalangan perempuan.
Tak lama setelah pembentukannya, sekretariat jenderal Ikhwanul memilih untuk mengembangkan ide nasional dan membentuk divisi Ikhwanul Muslimin beranggotakan perempuan yang dipimpin oleh Ahmed Labiba dibawah pimpinan El-Banna secara keseluruhan.
Ketika Ikhwanul Muslimin dibubarkan pada tahun 1948, organisasi yang beranggotakan perempuan tersebut berhenti beraktivitas meski demikian, ada beberapa anggotanya terus ambil bagian dalam kegiatan kelompok sebelum pembagian anggota saat ini telah dibentuk sebelumnya.
Saat ini, meskipun mereka aktif dalam kampanye pemilu, dan hak resmi mereka untuk memilih dalam jajak pendapat nasional, anggota perempuan tidak diizinkan untuk memilih dalam pemilihan internal Ikhwanul Muslimin.
Dalam piagam peraturan Ikhwanul Muslimin, hanya pria dengan keanggotaan penuh saja yang memungkinkan untuk memberikan suara. Perempuan bahkan tidak memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam kepemimpinan.
Dalam blogspot berjudul “Surat Kepada Mursyid”, beredar secara online pada tahun 2007, anggota Ikhwanul Rasha Ahmed mengungkapkan beberapa masalah kunci tentang peran perempuan dalam kelompok.
“Tidak ada yang bisa menyangkal seorang perempuan memainkan peranan penting dalam membawa calon Ikhwanul ke parlemen. Jika mereka melaksanakan peran sulit seperti laki-laki, mengapa mereka tidak memiliki hak yang sama untuk memilih pejabat dalam kelompok?” tanya Ahmed, dosen kedokteran di sebuah universitas Mesir.
“Ketika saya menyatakan hal ini kepada anggota kantor administrasi gubernuran kami, dia menjawab dengan sinis: Anda memiliki hak yang sama seperti kelompok lain. Apakah benar yang dia katakan? Apakah Ikhwanul Muslimin melihat kita dengan rendah diri seperti itu?”
Hefny mengakui dan menyatakan bahwa setelah Revolusi 2011, Mursyid Mohamed Badie bertemu dengan delegasi Ikhwanul Muslimin untuk membahas masalah ini.
Pada pertemuan tersebut mereka memutuskan bahwa perempuan bisa menjadi kepala unit terkecil dari komite perempuan lokal dipilih oleh perempuan dalam komite ini. Dia mengatakan bahwa ini adalah caranya bagaimana ia mengepalai kelompok lokal Ikhwanul Muslimin perempuan.
Hefny berharap bahwa langkah demi langkah perempuan akan memperoleh kemerdekaan lebih dalam berorganisasi.
Bagaimanapun, menurut Eid, hal tersebut sangat tidak mudah karena ini kepemimpinan yang didominasi laki-laki dalam Ikhwanul Muslimin. Dia mengatakan tindakan tersebut akan membutuhkan pertemuan serius tingkat tinggi dalam organisasi di Mesir dan juga pada tingkat global.
Di sisi lain, beberapa perempuan mengatakan perkembangan besar tidak diperlukan jika sistem komunikasi yang efisien didirikan secara internal dalam Ikhwanul Muslimin.
“Suara kami tidak mencapai hingga jajaran terkemuka karena saluran tengah hirarkis yang tidak efektif,” kata Lamyaa Mayer (31), seorang mantan anggota Ikhwanul Muslimin.
“Kadang-kadang anggota dari kantor pimpinan, misalnya pada pemilihan parlemen 2011, akan melakukan pertemuan dengan anggota perempuan untuk membicarakan pandangan Ikhwanul Muslimin, rencana dan pertanyaan atau saran perempuan. Namun, pertemuan ini tidak mempunyai aturan,” katanya.
Mayer percaya orang yang ditunjuk dalam posisi menengah di Ikhwanul Muslimin harus dipilih berdasarkan efisiensi dan keahlian. “Saya tidak peduli jika perempuan yang hadir di kantor pimpinan jika ada mekanisme yang jelas di tempat untuk komunikasi,” kata Mayer.
Dia mengatakan bahwa tiga tujuan utama divisi ini adalah untuk meningkatkan gadis menjadi perempuan dewasa,menyebarkan nilai-nilai Islam dan mempersiapkan perempuan untuk menjadi istri dan ibu.
Memang, Hefny mengatakan pria dan perempuan kelompok kedua yakin peran utama yang diberikan Tuhan kepada seorang perempuan adalah menjadi ibu dan “meningkatkan generasi berikutnya” dan ini adalah misi penting bagi dirinya sendiri. Jika dia memiliki kemampuan dan waktu lebih, dia akan memberikan pekerjaan ini kepada orang lain, katanya.
“Partisipasi politik perempuan tidak besar karena budaya kita,” tambah El-Shaarawi.
Meskipun masih harus dilihat apa jenis dampak pergolakan politik musim panas yang dimiliki oleh Ikhwanul Muslimin, untuk saat ini anggota perempuan yang terus mengambil bagian dalam demonstrasi mingguan menentang apa yang mereka sebut sebagai kudeta.
“Kaki saya sakit karena pawai harian,” kata Hefny sambil tersenyum. (english.ahram.org.eg)
Editor : Bayu Probo
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...