Perjuangan Bocah-bocah Gaza Atasi Mimpi Buruk Perang
GAZA CITY, SATUHARAPAN.COM – Muntasser Bakr (11) adalah korban selamat serangan Israel ke Gaza pada pertengahan tahun lalu, yang menewaskan adiknya dan tiga sepupunya. Kini, lima bulan peristiwa berlalu, ingatan itu masih terus menghantui bocah Palestina yang pernah melakukan percobaan bunuh diri itu.
Muntasser sedang berada di pantai saat itu seperti dikisahkan AFP, 29 Desember. Ia bermain sepak bola dengan adik dan sepupunya, ketika dua rudal Israel menghantam. Empat dari anak-anak itu, berusia antara 9 tahun dan 11 tahun, tewas.
Seminggu kemudian, perang 50 hari sepanjang Juli-Agustus pun berkobar.
Muntasser, seperti anak-anak lain yang tak terhitung jumlahnya di Jalur Gaza, kini menghadapi “pertempuran” tersendiri. Mereka harus berjuang mengatasi trauma dan penyakit psikologis setelah mengalami kekerasan.
Pertempuran yang berlangsung enam minggu setelah serangan rudal di pantai itu, menewaskan hampir 2.200 warga Palestina dan melukai lebih dari 10.000 orang.
Di daerah pesisir yang padat penduduk, dengan lebih dari setengah populasi 1,8 juta berusia 14 tahun ke bawah, anak-anak harus menjalani kehidupan mengerikan.
Dilaporkan lebih dari 500 anak-anak tewas - sepertiga dari mereka berusia 12 tahun ke bawah – dan belum terhitung dari mereka yang terluka.
Dana Anak-anak PBB, UNICEF, mengatakan ratusan ribu anak-anak membutuhkan bantuan psikologis untuk mengatasi terganggunya mental akibat perang jangka panjang.
"Sejak kejadian itu, Muntasser menjalani perawatan dari pusat kesehatan mental," kata ayah Muntasser, Ahed Bakr (55).
"Jika terapinya tertunda, atau pengobatannya terlambat , bahkan hanya 10 menit pun, Anda tidak akan dapat mengendalikannya," Ahed menggambarkan.
Di Dunia Lain
Bakr, yang kehilangan anaknya, Zakaria (9), adik Muntasser, dalam serangan rudal di pantai itu, tampak cemas melihat Muntasser asyik menggigiti kuku-kukunya. "Dia jadi suka bertindak kasar. Memecahkan atau membanting apa saja. Dia juga senang membenturkan kepala ke dinding, bahkan pernah mencoba menjatuhkan diri dari atap," dia menggambarkan.
Bukan hanya mencoba mengakhiri hidupnya sendiri, Muntasser juga acap menyerang kerabat.
"Beberapa hari lalu, kami menemukan dia mencoba menggantung sepupunya," kata ayahnya, tidak merasa nyaman.
Sejak pengeboman itu, Muntasser seakan berada "di dunia lain". Dia juga menolak pergi ke sekolah, "Tak terbayangkan jika dia mencoba menyakiti salah satu dari teman-teman sekelasnya."
Tiba-tiba, kepada AFP Muntasser berbicara, namun matanya terpaku ke lantai.
"Saya tidak mau pergi ke sekolah. Saya biasanya pergi dengan Zakaria dan ia membantu mengeja nama saya. Sekarang dia sudah mati," kata anak itu.
"Saya tidak mau melakukan apa-apa. Saya hanya ingin punya Kalashnikov (senjata laras panjang, Red) dan membunuh mereka karena mereka membunuh Zakaria dan sepupu saya," dia berteriak.
Selama beberapa detik anak itu diam sebelum menceritakan ia memimpikan mereka setiap malam, "Saya bermimpi memeluk mereka. Saya tidak akan pergi ke pantai lagi karena di sana mereka mati."
Sebuah Kehidupan Normal?
Ahli kesehatan jiwa Samir Zaqqut berpendapat anak-anak Gaza terlalu traumatik untuk hidup normal, "Kenangan yang mereka peroleh selama perang yang brutal tidak mungkin terhapus."
"Mereka mengalami guncangan berturut-turut dan trauma terus-menerus," katanya, "Bagaimana bisa hidup normal setelah mengalami tiga kali perang dalam enam tahun?"
Upaya mengatasi trauma, mimpi buruk, dan kecemasan itu diperparah dengan kenyataan kurangnya klinik kesehatan mental dan minimnya tenaga profesional yang bekerja di wilayah pertempuran, kata Zaqqut.
Ketika pertempuran berakhir pada Agustus, Kamela Abu Hadaf menemukan kelima anaknya mulai mengompol, suatu gejala umum dari stres dan kecemasan. "Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk membantu mereka," ujar ibu berusia 45 tahun itu.
"Perang itu meneror mereka. Tetapi, jangankan anak-anak, kami orang dewasa juga takut. Jadi kami tidak bisa meyakinkan mereka," katanya.
Hari itu, anak-anaknya menerima bantuan dari sekelompok dokter Jerman yang mengadakan sesi konseling dengan mereka.
Raghda Ahmed termasuk orang yang mengkhawatirkan perkembangan anaknya, Wissam (8).
"Sejak perang, dia tidak pernah mau ditinggalkan sendiri, untuk satu menit pun. Dia mengatakan, ‘Jangan tinggalkan saya, Ibu, nanti kalau ada pesawat mengebom lagi, kita akan mati bersama-sama’,” kata ibu berusia 30 tahun itu, "Saya harus sering menemaninya, bahkan di sekolah."
Wissam tiba-tiba menyela ibunya, "Mengapa harus pergi ke sekolah dan belajar? Toh nanti perang lagi dan kita akan mati?" (jordantimes.com/afp)
Editor : Sotyati
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...