Perubahan Suhu Mendorong Cheetah Menjadi Lebih Nokturnal
SATUHARAPAN.COM-Cheetah biasanya berburu di siang hari, namun kucing besar yang cepat larinyaini akan mengalihkan aktivitasnya menjelang fajar dan senja saat cuaca hangat, demikian temuan sebuah studi baru.
Sayangnya bagi cheetah yang terancam punah, hal ini membuat mereka menghadapi lebih banyak potensi konflik dengan predator yang sebagian besar aktif di malam hari seperti singa dan macan tutul, kata penulis penelitian yang diterbitkan Rabu (8/11) di jurnal Proceedings of the Royal Society B.
“Perubahan suhu dapat berdampak pada pola perilaku spesies karnivora besar dan juga dinamika antar spesies,” kata ahli biologi Universitas Washington Briana Abrahms, salah satu penulis studi.
Meskipun cheetah hanya memakan daging segar, singa dan macan tutul terkadang secara oportunistik memangsa predator yang lebih kecil.
“Singa dan macan tutul biasanya membunuh mangsanya sendiri, tetapi jika mereka menemukan mangsa cheetah, mereka akan mencoba mengambilnya,” kata Bettina Wachter, ahli biologi perilaku yang memimpin Proyek Penelitian Cheetah di Institut Penelitian Kebun Binatang dan Margasatwa Leibniz.
“Cheetah tidak akan melawan kucing yang lebih besar, mereka akan pergi begitu saja,” kata Wachter, yang tinggal di Namibia dan tidak terlibat dalam penelitian ini.
Berburu pada waktu yang berbeda dalam sehari adalah salah satu strategi yang telah lama dikembangkan untuk mengurangi pertemuan antara berbagai spesies predator yang berbagi lanskap hutan dan sabana yang tercampur di Botswana utara.
Namun studi baru ini menemukan bahwa pada hari-hari terpanas, ketika suhu maksimum harian melonjak hingga hampir 45 derajat Celcius (113 derajat Fahrenheit), cheetah menjadi lebih aktif di malam hari, meningkatkan jam berburu mereka yang tumpang tindih dengan kucing besar saingannya sebesar 16%.
“Ada kemungkinan lebih besar terjadinya pertemuan yang tidak bersahabat dan lebih sedikit makanan bagi cheetah,” kata rekan penulis Kasim Rafiq, ahli biologi di Universitas Washington dan lembaga nirlaba Botswana Predator Conservation Trust.
Untuk penelitian saat ini, para peneliti memasang kalung pelacak GPS pada 53 karnivora besar, termasuk cheetah, singa, macan tutul, dan anjing liar Afrika, dan mencatat lokasi dan jam aktivitas mereka selama delapan tahun. Mereka membandingkan data ini dengan catatan suhu harian maksimum.
Meskipun siklus musiman menjelaskan sebagian besar fluktuasi suhu dalam periode studi tahun 2011 hingga 2018, para ilmuwan mengatakan perubahan perilaku yang diamati menawarkan gambaran masa depan dunia yang memanas.
Pada tahap penelitian berikutnya, para ilmuwan berencana menggunakan perangkat perekam audio dan akselerometer, “seperti Fitbit untuk kucing besar,” kata Rafiq, untuk mendokumentasikan frekuensi pertemuan antara karnivora besar.
Selain persaingan dengan singa dan macan tutul, cheetah juga menghadapi tekanan berat akibat fragmentasi habitat dan konflik dengan manusia.
Sebagai hewan darat tercepat, cheetah adalah kucing besar paling langka di Afrika, dengan jumlah tersisa kurang dari 7.000 di alam liar.
“Perubahan iklim ini bisa menjadi sangat penting jika kita melihat ke masa depan, suhu diperkirakan akan menjadi jauh lebih hangat di bagian Afrika tempat cheetah hidup, di Botswana, Namibia, dan Zambia,” kata Wachter dari Cheetah Research Project. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...