Pesparawi XIII: Seni Robohkan Tembok Pemisah Umat Beragama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seni dapat merobohkan tembok pemisah yang menjadi penghalang kerukunan antarumat beragama. Hal tersebut ditunjukkan dalam Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Mahasiswa Tingkat Nasional XIII yang digelar pekan ini (24 September – 4 Oktober) dan diikuti oleh kontingen multirasial dari 40 universitas di Indonesia, baik universitas negeri maupun swasta.
Kompetisi paduan suara gerejawi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia itu memang mengusung konsep unik. Jika biasanya paduan suara gerejawi khusus dikompetisikan untuk paduan suara dari berbagai gereja, dalam Pesparawi ini paduan suara yang diikutkan dalam kompetisi berasal dari berbagai universitas sehingga pesertanya majemuk.
Burhanudin Hasbullah, peserta Pesparawi dari Universitas Hasannudin Makassar yang ditemui seusai tampil dalam sesi kategori Musica Sacra mengatakan bahwa kompetisi paduan suara yang bernuansa religi Nasrani ini merupakan salah satu bentuk toleransi antarumat beragama.
“Di sini kita sebagai mahasiswa ingin mengembangkan potensi kita menyanyi,” katanya. Burhanudin tidak mempermasalahkan nuansa religi Nasrani yang diusung dalam lagu yang dinyanyikan dalam kompetisi ini karena baginya menyanyi adalah seni yang harus ditekuni tanpa pandang bulu.
“Ini juga suatu bentuk pembentukan karakter dengan cara mengambil andil dalam pesta paduan suara seperti ini,” Burhanudin menambahkan.
Meskipun lagu-lagu yang dibawakan oleh peserta ini seluruhnya bernuansa religi Nasrani, hal tersebut tidak menjadi hambatan para peserta untuk menghayati lagu-lagu yang dinyanyikan.
Burhanudin mengaku tidak mengalami hambatan dan kesulitan dalam memahami dan menghayati lagu bernuansa Musica Sacra ini.
“Kesulitan hanya sebatas pelafalan kata-kata berbahasa Yunani yang cukup jarang didengar. Agak sulit, tapi latihan kan sudah lama jadi sudah bisa teratasi,” katanya.
Sementara itu, Norbertus Yunendra, salah satu peserta dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta mengatakan bahwa lagu-lagu yang dinyanyikan dalam kategori Musica Sacra ini bercerita tentang Kekudusan Tuhan seperti lagu berjudul Sanctus yang dibawakan oleh kelompok paduan suaranya. Menurutnya, lagu puji-pujian terhadap Tuhan memang tidak selalu harus dipandang dan dimaknai dari persepsi keyakinan tertentu, tetapi dapat dimaknai secara luas dari berbagai keyakinan. Apalagi jika dipandang dari kaca mata seni, menurut Nendra, kompetisi ini dapat menyatukan semuanya.
“Semua lagu yang dinyanyikan itu memecahkan tembok-tembok pemisah. Menurut saya kompetisi ini benar-benar bisa menyatukan semuanya,” katanya.
Olivia Karla peserta Pesparawi dari Universitas Hasannudin memandang kompetisi ini merupakan sarana untuk menumbuhkan kepedulian antarmanusia di tengah konflik agama yang sedang gencar terjadi di beragai wilayah di dunia.
“Di sini kita bisa lihat bahwa Indonesia itu memang Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Beda karakteristik, beda agama, semua ikut dalam pesta paduan suara gerejawi,” ujarnya.
Seni memang dapat mempersatukan umat multirasial. Namun, menurut Karla, hal itu kembali ke pribadi masing-masing. Apabila dari dirinya tidak memiliki dasar toleransi yang tinggi, orang akan memandang perbedaan sebagai jurang pemisah. Kurangnya kesaradaran untuk menjunjung tinggi toleransilah yang sering kali memunculkan konflik.
“Kalau orang itu beriman, pasti tidak ada niat untuk menjadikan agama sebagai penghalang untuk kita saling bersaudara dan saling menyatukan diri,” kata Karla.
“Karena hidup itu bukan hanya seorang diri saja. Kita saling membutuhkan satu sama lain, jadi walaupun berbeda-beda, kita tetap harus menghargai satu sama lain,” Karla menambahkan.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...