PM Israel Tegaskan UU “Negara Yahudi”
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Rabu (26/11) membela persetujuan pemerintahannya yang menetapkan status Israel sebagai tanah air nasional kaum Yahudi, setelah Presiden Reuven Rivlin mengkritik usulan tersebut.
Kabinet pada Minggu (23/11), didukung oleh 14 suara berbanding enam, mengusulkan untuk mengesahkan karakter Yahudi Israel ke dalam undang-undang, dalam sebuah langkah yang menurut kritikus akan dapat menghapus nilai-nilai demokrasi dan melembagakan diskriminasi terhadap minoritas, termasuk masyarakat Arab.
“Tujuan undang-undang ini adalah untuk menjamin masa depan masyarakat Yahudi di tanah airnya,” tutur Netanyahu kepada parlemen, menyerang balik “orang-orang yang ingin mempertanyakan hak nasional rakyat Yahudi (untuk hidup) di tanah air ini.”
Pada Selasa (26/11), Presiden Rivlin, yang juga berasal dari partai Likud yang dipimpin Netanyahu, mengatakan dirinya “tidak memahami kepentingan undang-undang ini.”
“Menempatkan karakter Yahudi dalam negara di hadapan karakter demokrasinya menimbulkan pertanyaan terhadap prinsip-prinsip dalam deklarasi kemerdekaan, yang menyatakan Yudaisme dan demokrasi Israel merupakan nilai yang sama pentingnya,” tutur Rivlin dalam sebuah pidato di kota pelabuhan bagian selatan, Eliat.
Identitas Israel sudah terkandung dalam deklarasi kemerdekaan pada 1948, menurut Israel Democracy Institute, yang menyebutkan bahwa usulan baru itu gagal untuk menekankan “komitmen terhadap kesetaraan semua warganya.”
Netanyahu menegaskan bahwa undang-undang itu akan menyeimbangkan karakteristik Yahudi dan demokrasi Israel.
Parlemen negara, Knesset, akan melakukan pemungutan suara untuk undang-undang itu pada 3 Desember.
Palestina Menolak
Palestina mengecam persetujuan pemerintah Israel untuk menentukan status hukum negara sebagai tanah air Yahudi, dengan mengatakan itu "membunuh" prospek perdamaian Timur Tengah.
Komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO) Selasa (26/11) mengatakan dalam pernyataan "kecaman keras dan penolakan terhadap undang-undang itu".
"Undang-undang itu bertujuan untuk membunuh solusi dua negara dengan memberlakukan proyek `Israel yang lebih besar` serta negara Yahudi di atas sejarah tanah Palestina," kata PLO, yang mendominasi Otorita Palestina.
Kritik-kritik, termasuk penasihat hukum tertinggi pemerintah, mengatakan usulan perubahan untuk bisa melembagakan diskriminasi terhadap 1,7 juta warga Arab - keturunan dari 160.000 warga Palestina yang tinggal setelah Israel didirikan pada tahun 1948.
PLO mengatakan undang-undang itu adalah "upaya untuk menodai dan memelintir narasi sejarah Palestina dan menghapus keberadaan Palestina "di wilayah tersebut, dengan menyediakan secara eksklusif terhadap keprluan orang-orang Yahudi."
Perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina telah gagal dari waktu ke waktu karena negara Yahudi membangun perumahan pemukiman di tanah Palestina yang inginkan untuk negara masa depan mereka. (AFP)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...