Loading...
DUNIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 19:37 WIB | Senin, 30 Maret 2015

PM Tunisia Sebut Penyerang sebagai Korban Radikal Online

Seifeddine Rezgui, mahasiswa berumur 23 tahun diduga otak penyerangan wisatawan di Tunisia. (Foto: alarabiya.net)

TUNIS, SATUHARAPAN.COM – Perdana Menteri Tunisia Habib Essid mengatakan kepada kantor berita CNN, pria jihad bersenjata yang menewaskan 38 orang yang sebagian besar wisatawan Inggris, dalam serangan liar di pantai itu sebagai korban “radikal online paling berbahaya".

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CNN dan dipublikasikan di situs resminya pada Senin (29/6), Essid mengatakan pria yang berumur 23 tahun dan merupakan otak dari serangan ekstremis terburuk dalam sejarah Tunisia mungkin juga menerima pelatihan ideologis di masjid.

"Saya pikir dia korban radikal online paling berbahaya," kata Essid mengacu pada pria yang diidentifikasi sebagai mahasiswa bernama Seifeddine Rezgui.

ISIS, yang dengan cepat mengklaim bertanggung jawab atas serangan hari Jumat (26/6), mendapat pengaruh radikalisme melalui online yang besar, menggunakan teknologi yang paling mutakhir dan strategi media sosial untuk merekrut pejuang.

Menyamar sebagai turis di pantai dekat Sousse, selatan Tunis, Rezgui mengeluarkan senapan serbu Kalashnikov yang disembunyikan di dalam payung pantai dan menembaki wisatawan yang sedang berlibur.

Ditanya apakah ia percaya Rezgui menjadi radikal ketika ia berada di universitas, Essid menjawab: "Kita tidak dapat menyimpulkannya pada saat ini, tapi ada beberapa informasi yang dia adalah anggota sebuah organisasi dan sangat dekat dengan Masjid yang memberikan pelatihan ideologis radikal.”

Essid juga mengatakan tidak jelas apakah Rezgui pernah bepergian ke negara tetangga yang sedang mengalami kekacauan seperti di Libya dan menjadi tujuan populer bagi militan yang mendaftar sebagai anggota ISIS.

"Sirkulasi antara Tunisia dan Libya bisa diatasi melalui cara-cara yang tidak biasa," kata dia dalam bahasa Inggris, mencatat bahwa Rezgui tidak pernah menggunakan paspornya untuk bepergian.

Essid mengatakan situasi di Libya, yang berbagi perbatasan panjang dengan Tunisia, itu memiliki dampak negatif pada negara dan mendesak masyarakat internasional untuk membantu menemukan solusi.

"Orang-orang dilatih (oleh ekstremis di Libya) dan mereka kembali ke Tunisia," tambahnya.

Sementara itu, Essid bersumpah pemerintah Tunisia terkait serangan teror itu akan menghormati hukum dan lembaga-lembaga negara itu.

"Kejadian ini sama sekali berbeda, seperti apa yang kami lakukan pada tahun 2011 tidak dapat diubah," kata dia mengacu pada revolusi yang menggulingkan diktator Zine El Abidine ben Ali. (al-arabiya.net)

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home