PP Muhammadiyah: Hasil Autopsi Beda dengan Rilis Polisi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa ada empat poin dalam hasil autopsi atas jenazah Siyono oleh dokter forensik. Hasilnya berbeda dengan rilis polisi.
Pertama, kata Dahnil tidak benar sudah dilakukan autopsi terhadap jenazah Siyono sebelumnya. Ini autopsi pertama. Sebelumnya pihak Densus menyebut sudah autopsi.
“Kedua tidak betul juga indikasi kematian akibat pendarahan hebat di kepala. Hasil autopsi dari forensik kalau di kepala, otaknya tidak dalam gugur merah adanya gugur putih. Artinya tidak ada pendarahan di kepala. Agak aneh kepolisian mengetahui,” kata Dahnil di Kantor Komnas HAM RI Jala. Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, hari Senin (11/4).
Ketiga, lanjut Dahnil dari kesimpulan itu ditemukan penyebab pendarahan hebat patah tulang yang berujung dengan jantung yang kena. Itu penyebab kematiannya.
Kemudian, keempat kata Dahnil tidak ditemukannya indikasi perlawanan dari korban. Dari mana? Misal tidak ada luka tangkis yang bentuknya perlawanan.
⪔Jadi empat poin itu menjadi poin penting yang selama ini disampaikan kepolisian,” kata dia.
Selain itu, kata Dahnil hasil autopsi yang mereka lakukan adalah yang pertama kali terhadap jenazah Siyono, lalu penyebab kematiannya adalah akibat patah tulang iga hingga merusak jantung, bukan akibat pendarahan di otak seperti yang dirilis oleh pihak kepolisian.
“Tidak ditemukan adanya luka memar di bagian tangan karena melakukan perlawanan saat akan ditangkap,” kata dia.
Selain mengungkapkan hasil autopsi, Ketua PP Muhammadiyah juga mengungkapkan cerita mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas tentang adanya uang yang diberikan polisi kepada istri Siyono, Suratmi senilai Rp 100 juta. Namun uang tersebut ditolak oleh Suratmi lalu diserahkan pada PP Muhammadiyah dan Komnas HAM.
“Uang ini akan kami rapatkan dengan Komnas HAM. Mau diapakan uang ini secara transparan untuk mengungkap sisi terang tentang proses dan kematian tidak wajar Siyono itu,” kata dia.
“Langkah selanjutnya kami akan rapat dengan Komnas HAM dan unsur masyarakat sipil,” dia menambahkan.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siane Indriani mengatakan, uang ini diberikan saat mau menjemput jenazah Siyono. Ada Densus perempuan yang merayu dengan memberi uang. Suratmi mendapat Rp 50 juta untuk anak-anaknya. Dan, Wagiyono kakak korban juga Rp 50 juta.
“Suratmi tidak bersedia. Karena, ini sangat besar dan dia takut menerimanya. Selanjutnya, kami tidak tahu mau dibawa ke mana. Anggaran dari mana. Tidak ada tanda terimanya juga,” kata dia.
Dipantau KontraS
Sebelumnya Siyono (39 tahun), warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, ditangkap Densus 88 Mabes Polri pada Selasa (8/3) lalu. Pada 11 Maret 2016 dikabarkan Siyono meninggal dan keluarganya diminta untuk mengurus jenazahnya.
Setelah mendengar kabar Siyono meninggal, KontraS melakukan pemantauan terhadap operasi yang dilakukan Densus 88 Klaten dengan memperhatikan standar aturan di bidang hukum pidana, serta hukum hak asasi manusia (HAM) dan hukum prosedur khusus penanganan terorisme.
Dari beberapa hasil pemantauan KontraS mencatat beberapa hal di antaranya ada pelanggaran prosedur terkait penangkapan yang dilakukan Siyono di antaranya operasi penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan Densus 88 tidak mendapat tembusan surat penangkapan maupun penggeledahan yang merupakan syarat administrasi. Kedua Siyono ditangkap tanpa ada pemberitahuan kepada pihak keluarga sampai mendapat informasi Siyono dikabarkan sudah meninggal. Ketiga ditemukan adanya luka memar, serta lebam dan patah tulang dan terakhir keluarga Siyono diminta menandatangani surat pernyataan bahwa keluarga korban mengikhlaskan kematian Siyono dan tidak menuntut pertanggungjawaban secara hukum.
Editor: Bayu Probo
Pesan Natal KWI-PGI Tahun 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indo...