Presiden Liberia Umumkan Darurat Ebola
MONROVIA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf mengumumkan pada Kamis (7/8) dalam pidatonya bahwa negara dalam keadaan darurat akibat wabah Ebola. Sirleaef mengingatkan negara dalam keadaan darurat sehingga diperlukan langkah-langkah luar biasa untuk menangani.
Dalam pidatonya, Sirleaf menyinggung tentang bahaya nyata dari virus Ebola. Keadaan darurat negara ini akan diberlakukan minimum selama 90 hari.
Warga Monrovia, Liberia membiarkan jenazah seorang pemuda terbaring di jalanan. Daily Mail mengabarkan jenazah itu dibiarkan membusuk di pinggir jalan, banyak orang yang lewat di sekitar tempat itu hanya berani melihat tanpa berniat untuk menyingkirkan jenazah itu dari pinggir jalan.
Menurut data terbaru WHO pada Rabu (6/8) mengatakan jumlah korban meninggal wabah Ebola di dunia meningkat menjadi 932 jiwa dimana 45 pasien meninggal pada periode antara Sabtu (2/8) hingga Senin (4/8) lalu.
Jumlah tersebut diduga, kemungkinan atau kasus yang dikonfirmasi naik lebih 108 pada periode yang sama menjadi 1.711. Kematian baru dilaporkan, sebanyak 27 orang di Liberia, yang telah memiliki 516 kasus dan 282 kematian akibat penyakit ini sejak wabah dimulai Februari.
Guinea, di mana wabah itu pertama kali dilaporkan, memiliki 10 kasus baru dan lima kematian, sedangkan jumlah kasus di Sierra Leone naik 45 menjadi 691, dengan 13 kematian baru dilaporkan, menjadikan korban yang meninggal mencapai 286 jiwa.
Pekan lalu, pemerintah Liberia mengumumkan berbagai langkah pencegahan penyakit tersebut, termasuk menutup sekolah, memaksakan karantina di rumah korban dan pelacakan teman dan keluarga mereka. Menteri Informasi Liberia, Lewis Brown mengumumkan pada Selasa (6/8) bahwa penduduk Monrovia banyak yang membiarkan jenazah anggota keluarganya tergeletak di pinggir jalan.
“Pemerintah menegur keras apabila berbagai jenazah dibiarkan tergeletak di pinggir jalan karena pencemaran Ebola akan lebih massif di udara bebas, kami meminta orang-orang untuk meninggalkan mayat di rumah mereka dan kami akan menjemput mereka. Tetapi kami menyayangkan hal itu,” kata Brown.
Pada hari Senin, pemerintah Liberia mengumumkan melalui radio pemerintah bahwa semua mayat korban Ebola harus dikremasi, apalagi adanya kekhawatiran penyakit tersebut akan menjadi bencana nasional di salah satu negara termiskin di dunia itu.
Saat ini pihak berwenang dari Kementerian Informasi Liberia menambahkan untuk membantu kerja petugas kesehatan dan relawan dari WHO, pihaknya mengerahkan polisi militer guna membantu memulihkan ketertiban sehingga penguburan bisa terjadi.
Di Liberia, menurut Daily Mail menyebutkan banyak orang menjadi korban Ebola karena menyentuh bagian tubuh korban lainnya seperti di pemakaman.
Brown mengatakan pihak berwenang mengkremasi mayat mulai Minggu (2/8) setelah masyarakat setempat menentang penguburan dengan cara biasa, dan memutuskan akan melakukan kremasi.
Sementara itu, di wilayah perbatasan antara Liberia dan Sierra Leone, Lofa County, sekelompok pasukan dikerahkan pada Senin (4/8) malam WIB dan mulai mengisolasi masyarakat tersebut.
“Kami berharap tidak terlalu memerlukan kekuatan yang berlebihan, tetapi kita harus melakukan apa pun yang kami bisa untuk membatasi pergerakan orang dari daerah yang terkena dampak,” lanjut Brown.
Awal mula Ebola masuk ke Liberia kira-kira pada pertengahan Maret 2014, virus tersebut kemudian menyebar ke Nigeria pada akhir Juli 2014 ketika seorang warga Amerika Serikat bernama Patrick Sawyer berusia 40 tahun melakukan perjalanan dari Lagos, Nigeria ke Monrovia, Liberia.
Pihak berwenang di Nigeria mengklaim delapan orang yang masuk ke Liberia bersama dengan Sawyer kini juga dalam kondisi kritis.
Menteri Keuangan Liberia Amara Konneh mengatakan saat ini Liberia membutuhkan proyeksi pertumbuhan pendanaan guna penanganan wabah mematikan tersebut. (dailymail.co.uk/AFP).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...