PSHK: Pemerintah Tak Taat Hukum dalam Proyek Kereta Cepat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, meminta Pemerintah Indonesia menolak permintaan Tiongkok agar diberikan jaminan dan alokasi pembagian risiko terhadap proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Menurutnya, permintaan itu tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelengaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
“Pemerintah Indonesia harus konsisten menolak permintaan jaminan pemerintah atas penyediaan infrastruktur proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan mematuhi Pasal 4 ayat (2) Perpres No. 107/2015 terkait dengan tidak akan digunakannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pembangunan proyek ini dan tidak disediakannya jaminan pemerintah,” kata Faiz dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Minggu (31/1).
“Bila Pemerintah Indonesia bersikap inkonsisten, maka berpotensi merugikan keuangan negara, bila kelak proyek mengalami kegagalan atau kerugian dalam operasionalisasinya,” dia menambahkan.
Faiz juga meminta Pemerintah Indonesia menolak permohonan hak eksklusif atau monopoli dalam proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Karena, menurutnya, hak itu berpotensi melanggar dua undang-undang (UU) sekaligus, UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha.
“Pengadaan dan penyediaan infrastruktur harus mematuhi semangat dalam kedua UU tersebut,” katanya.
Selanjutnya, dia meminta Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung hingga perjanjian konsesi final sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab, sejumlah dokumen hukum dan perizinan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung belemu lengkap dan diselesaikan.
Dia pun berpendapat, groundbreaking kereta cepat Jakarta – Bandung yang telah dilakukan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, hari Kamis (21/1) lalu, seolah mengirimkan pesan suatu proyek bisa berjalan meskipun dokumen hukum dan perizinan belum selesai.
Padahal, katanya, terdapat konsekuensi sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pembangunan dan operasional perkeretaapian tanpa perizinan yang sah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
“Pemerintahan Joko Widodo harus menjadi teladan bagi seluruh elemen bangsa, upaya menunjang pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan tetap mematuhi hukum yang berlaku, termasuk mengenai perjanjian konsesi, persaingan usaha, dan perizinan usaha dan pembangunan,” tutur Faiz.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...