Redam Konflik dengan Pendekatan Kasih
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia menyisakan beragam konflik. Jalan rekonsiliasi menjadi salah satu solusi untuk mendamaikan kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku. Namun, Dr. Antonius Herujiyanto MA., menawarkan solusi tersendiri yang disebutnya katresnanism approach atau pendekatan kasih.
Menurut akademisi dari Univesitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini, prinsip katresnanism approach bisa dilakukan jika telah menggunakan tiga langkah sebagai analisa. Ketiga langkah tersebut adalah critical thinking (pemikiran kritis), common sense (akal sehat), dan new historism (pendekatan dengan bahasa, kekuasaan, pengetahuan, dan lain sebagainya).
“Pada 21 April 2015, pemerintah Jokowi membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang bertumpuk di Kejaksaan. Tapi saya tidak yakin akan kinerja KKR ini karena belum menggunakan tiga langkah untuk melakukan rekonsiliasi, yaitu critical thinking, common sense, dan new historism,” ujar Dr. Antonius Herujiyanto MA.
Menurut Heru, selain belum menggunakan katresnanism approach, dirinya juga meragukan kineja dari KKR karena muncul pertanyaan bahwa pembentukan KKR tersebut apakah benar-benar tulus upaya rekonsiliasi dari pemerintah, ataukah hanya berupa topeng? Pasalnya sejak era Presiden Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, penuntasan kasus 65 tak kunjung berakhir.
“Sebenarnya pembentukan KKR ini apakah tulus upaya rekonsiliasi dari pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, ataukah hanya topeng dari pemerintah?” ucap Dr. Antonius Herujiyanto MA.
Pernyataan pria yang akrab disapa Pak Heru ini terlontar dalam diskusi bertajuk “Re(i)novasi Memori HAM dan Anak Muda” yang dihelat pada Sabtu (25/4) di Ruang Perpustakaan dan Multimedia, Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjosoemantri (PKKH), Universitas Gajah Mada (UGM). Diskusi ini yang digagas oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) dan Pamflet yang bekerjasama dengan Ketjil Bergerak.
Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah anak muda ini bertujuan untuk mengajak anak muda agar mampu berfikir kritis secara terkait dengan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam diskusi ini, para anak muda juga dipertemukan dan mendengar secara langsung penuturan dari para korban Tradegi 65. Selain itu, untuk memantik jiwa kritis di kalangan anak muda, sebelum diskusi dilangsungkan pemutaran film berjudul “Menemukan Kembali Indonesia”.
Menurut Badri, salah satu korban Tragedi 65, dirinya dan para korban sebenarnya tidak terlalu menuntut rehabilitasi berupa materi. Baginya, hal terpenting dalam penyelesaikan kasus 65 adalah pelurusan sejarah.
“Pengadilan dan pelurusan sejarah wajib dilakukan untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Ketika setelahnya dilakukan pengampunan, itu soal lain. Jadi jangan sampai bangsa ini hidup dalam alam kebohongan,” ucap Badri.
Menanggapi pernyataan Badri, Pak Heru kembali menawarkan konsep katresnanism approach sebagai ladang untuk berfikir kritis, khususnya dalam membaca, menerjemahkan, dan memandang Tragedi 65. Pemikiran kritis tersebut dianggap mampu untuk melahirkan wawasan baru terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada Tragedi 65.
“Katresnanism approach saya ambil berdasarkan falsafah lokal yang sangat arif, seperti migunani (bermanfaat bagi orang lain), sithik edhing (berbagi dengan sesama), dan iguh (peka terhadap keadaan sekitar). Lewat katresnanism approach ini akan terlahir wawasan baru sebagai bentuk kritik sosial dari permasalahan yang ada di Indonesia,” jelas Pak Heru.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...