Resesi Ekonomi di Jepang Bangkitkan Budaya Harakiri
TOKYO, SATUHARAPAN.COM - Tergelincirnya perekonomian Jepang memasuki resesi bukan saja menjadi pukulan telak bagi Abenomics, julukan bagi program ekonomi Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe. Bagi negara anggota G-7 dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia itu, ini juga menjadi pertaruhan hidup dan mati.
Kampanye Perdana Menteri Shinzo Abe untuk meningkatkan optimisme warga Jepang mengalami kebuntuan oleh stagnasi ekonomi dalam dua dekade terakhir, yang menyumbang pada tingginya angka bunuh diri di negara Matahari Terbit itu dalam 14 bulan terakhir.
Kini Jepang memasuki resesi ekonomi keempat sejak tahun 2008.
Kembalinya kesulitan ekonomi saat ini menambah beban para pekerja sosial yang ingin memerangi kebiasaan bunuh diri yang sudah menjadi budaya. Menurut data, rata-rata lebih dari 70 orang setiap hari melakukan bunuh diri di Jepang. Dan bunuh diri di negara ini berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi.
"Ekonomi memainkan peran yang sangat besar terhadap angka bunuh diri secara nasional," kata Mafumi Usui, seorang psikolog di Nigata Seiryo University, sebagaimana dikutip oleh Sydney Morning Herald.
Data pemerintah sejak tahun 1978 membuktikannya. Pada tahun 1981, angka bunuh diri turun ke tingkat 20.434, masa yang dikenal dengan masa booming ekonomi. Pada 1998, angka bunuh diri melonjak menjadi 32.863, naik 35 persen dalam setahun seiring dengan krisis perbankan yang menyebabkan sejumlah institusi keuangan kolaps.
Ketika Abe memenangi kursi perdana menteri pada Desember 2012 dengan misi membangkitkan ekonomi negara, optimisme masyarakat bangkit. Ini membawa penurunan pada angka bunuh diri hingga mencapai angka terendah dalam 17 tahun. Penurunan itu juga berkorelasi dengan tercapainya penurunan angka pengangguran, menjadi 3,5 persen pada bulan Mei, terendah dalam 17 tahun.
Secara global, lebih dari 800 ribu orang bunuh diri setiap tahun atau satu orang setiap 40 detik, menurut data World Health Organisation. Angka bunuh diri di AS terutama dipicu oleh penyakit mental, termasuk depresi, yang naik menjadi 12,6 per 100.000 pada tahun 2012, tertinggi sejak tahun 1987.
Berkebalikan dengan itu, angka bunuh diri di Jepang justru rendah pada waktu yang sama, turun menjadi dibawah 30 ribu, yang pertama kali sejak tahun 1997.
"Naik-turunnya angka bunuh diri di Jepang sangat berkaitan dengan 'roti dan mentega,' dan isu ekonomi sangat membantu mengurangi angka keseluruhan," kata Yusuke Takakura, yang bertugas di bagian pengumpulan data di kantor kabinet.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...