Revisi UU Perikanan Perlu Penguatan Partisipasi Masyarakat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Revisi Undang-undang Perikanan perlu menyoroti penguatan partisipasi masyarakat khususnya nelayan tradisional dan masyarakat desa pesisir guna memperkuat pengolahan industri perikanan sehingga tidak hanya mengandalkan investasi pihak luar.
"Perluas revisi Undang-undang Perikanan dan perketat kebijakan terkait perijinan usaha dan investasi untuk menstimulasi penguatan hilirisasi dan partisipasi masyarakat," kata Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik di Jakarta, Rabu (22/7).
Riza Damanik mengungkapkan, dari lebih 100 pasal di dalam UU Perikanan, sebanyak 29,4 persen membahas tentang praproduksi, dan hingga 52,9 persen membahas tentang produksi.
Namun, lanjutnya, hanya sebesar 17,6 persen yang membahas tentang pasca produksi.
Sebelumnya, Kiara mengatakan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan (RUU Nelayan) harus ditujukan untuk menghapus mispersepsi atau kesalahpahaman terkait nelayan tradisional.
"RUU ini merupakan tantangan pemerintah untuk menghapus tiga misperspesi yang dialamatkan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim, Rabu (17/6).
Menurut Abdul Halim, tiga mispersepsi itu adalah dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah kelompok yang termiskin di dalam masyarakat.
Ia mengemukakan bahwa kemiskinan nelayan karena adanya tengkulak yang memanfaatkan peluang itu dari absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran.
Mispersepsi kedua, ujar dia, adalah kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya.
Di Indonesia, lanjut Abdul Halim, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
"Ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya resiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan," ucapnya.
Sekjen Kiara juga mengatakan, mispersepsi ketiga adalah terkait marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, serta pemberdayaan ekonomi. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...