Revisi UU Pilkada Diprotes, DPR Batalkan dan Gunakan Putusan Mahkamah Konstitusi
DPR memastikan pengesahan RUU Pilkada batal dan putusan MK akan berlaku untul Pilkada serentak 2024.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Massa dari berbagai elemen dan di sejumlah tempat pada hari Kamis (22/8) menggelar protes untuk menolak rencana DPR RI mengesahkan RUU yang merupakan revisi UU Pilkada.
Masa juga memprotes karena apa yang dilakukan DPR itu sebagai tindakan pembangkangan atas keputusan Mahkamah Agung (MK) pada hari Selasa (20/8) terkait syarat calon kepala daerah dalam pemilihan tahun 2024, dan syarat parati untuk mencalonkan kepala daerah.
Massa protes digelar terutama di Jakarta, di depan gedung DPR/MPR RI dan juga digelar di Semarang, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Makassar. Di depan gedung DPR/MPR RI, masa bahkan merusak pagar dan membakar ban.
Protes itu dipicu oleh tindakan Badan Legislatif DPR yang bersama pemerintah (Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dan Menkumham, Supratman Andi Agtas) dengan singkat membahas RUU Pilkada yang dinilai sebagai upaya pembangkangan terhadap keputusan MK.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam pernyataan kepada wartawan mengatakan, memastikan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada batal dilaksanakan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilkada akan berlaku.
Untuk itu, dia memastikan pada saat pendaftaran calon kepala daerah untuk pilkada pada 27 Agustus 2024 bakal menerapkan putusan dari MK. "Yang akan berlaku adalah keputusan JR (judicial review) MK yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora," kata Dasco dalam akun resmi media sosial X yang diunggah pada Kamis (22/8) petang.
Adapun RUU Pilkada menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu (21/8) oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasalnya pembahasan itu dinilai tak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan pada Selasa (20/8) tentang syarat pencalonan pada pilkada.
Kemudian Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023—2024 dengan agenda pengesahan RUU Pilkada yang rencananya digelar pada Kamis (22/8) pagi ini, batal digelar dan dijadwal ulang karena jumlah peserta rapat tidak memenuhi kuorum.
Walaupun demikian, massa dari berbagai pihak menggelar aksi unjuk rasa di area kompleks parlemen itu sejak siang hingga petang. Situasi unjuk rasa pun sempat memanas karena gerbang depan maupun belakang kompleks parlemen pun telah jebol.
Pernyataan Dacso terlihat aneh, karena disebutkan sebagai keputusan DPR RI, padahal DPR RI hari Kamis itu gagal menggelar rapat paripurna, karena tidak kuorum, tapi tidak dijelaskan siapa saja di DPR yang mengambil keputusan itu.
Menyasar Joko Widodo
Kemarahan massa atas pembangkangan putusan MK tampaknya juga ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Massa protes dalam aksinya juga menginjak-injak foto okowi dan pocongan yang dikaitkan dengan Jokowi juga di bakar massa. Di Yogyakarta, massa melempari foto Jokowi dengan telur busuk.
Sejumlah orang dari kalangan akademisi juga mengkritisai tindakan Baleg DPR RI itu sebagai pembangkangan dan menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia, karena menunjukkan cara-cara yang tidak sesuai dalam memproses rancangan Undang-undang dan tidak menghgormati prinsip negara berdasarkan hukum.
Presiden Joko Widodo sendiri disorot tajam, karena ketika MK memutuskan calon presiden dan wakil presiden di mana itu menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang adalah anaknya, dia menyebutkan itu sebagai putusan yang final dan mengikat. Hal serupa dia sampaikan ketika MK memutuskan sengketa hasil pemilihan presiden.
Namun pernyataannya dinilai tidak konsisten ketika MK memutuskan tentang syarat calon dalam Pilkada, Jokowi menyebutkan menghargai keputusan MK, tetapi juga menghargai apa yang dilakukan DPR RI, khususnya Baleg. Ini mengisyaratkan dukungannya pada tindakan DPR RI yang membangkang keputusan MK, apalagi dalam pertemuan di Baleg hadir juga wakil pemerintah: mendagri dan Menkumham yang baru dilantik pada hari Senin (19/8).
KPU Ikuti Putusan MK
Politisi Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, berdalih bahwa pembatalan batalnya pengesahan revisi UU Pilkada itu terkait tidak kuorumnya rapat paripurna. Dikatakan, proses melalui mekanisme dan diskors pada Rapat Paripurna di DPR pada Kamis (22/8/2024) pagi karena hanya dihadiri 176 orang anggota DPR, yang terdiri atas 89 orang hadir secara fisik dan 87 orang izin tidak menghadiri secara langsung.
Jumlah tersebut tidak memenuhi persyaratan kuorum karena kurang dari 50 persen plus 1 total jumlah anggota DPR RI sebanyak 575 anggota. Selain itu, kuorum juga tidak terpenuhi karena tidak dihadiri perwakilan dari seluruh fraksi partai.
Diketahui, MK sebelumnya mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan ini menghilangkan syarat pengumpulan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah, menggantinya dengan syarat minimal 6,5 hingga 10 persen tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di setiap daerah. Putusan lainnya, Nomor 70/PUU-XXII/2024, menetapkan usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan calon, berbeda dengan putusan sebelumnya yang menghitung usia saat pelantikan. (rdn)
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menegaskan untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diperbolehkan di kampus asal telah mendapat izin dan tidak membawa atribut.
“Kami ingin sampaikan, beberapa keputusan MK yang lain, misalnya terkait dengan pengaturan pembolehan kampanye di kampus, itu juga pasti kita harus ikuti, kita perlakukan sama,” kata Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, saat konferensi pers di Kantor KPU RI Jakarta, Kamis (22/8) malam.
KPU akan mengadopsi ketentuan pembolehan kampanye pilkada di kampus ke dalam peraturan KPU (PKPU) tentang kampanye.
“Berkaitan dengan kampanye di kampus yang diperbolehkan itu ‘kan nanti akan diadaptasi di PKPU yang lain,” katanya.
Sebelumnya, Selasa (20/8), MK dalam Putusan Nomor: 69/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa kampanye pilkada boleh dilakukan di kampus, selama telah mendapatkan izin dari kampus tersebut dan tidak membawa atribut kampanye.
MK mengabulkan permohonan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria. Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa “tempat pendidikan” dalam Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Oleh karena itu, pasal tersebut dimaknai menjadi: Dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Menurut MK, pengecualian terhadap larangan kampanye di perguruan tinggi dapat memberikan kesempatan kepada civitas academica untuk menjadi salah satu lokomotif penyelenggaraan kampanye untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh calon kepala daerah.
“Selain tempat berkumpulnya sebagian dari pemilih pemula dan pemilih kritis, mengecualikan larangan kampanye di perguruan tinggi yang berarti membuka kesempatan dilakukannya kampanye dialogis secara lebih konstruktif yang pada akhirnya akan bermuara pada kematangan berpolitik bagi masyarakat,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membacakan pertimbangan hukum.
Editor : Sabar Subekti
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...