Revitalisasi KUA dan Wujud Konkret Moderasi Beragama
SATUHARAPAN.COM-Belakangan ini mencuat isu Revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA). Yaitu, mewujudkan KUA sebagai pusat layanan keagamaan bagi semua agama. Salah satu fungsi yang bertransformasi adalah layanan pencatatan pernikahan.
Konsepnya, warga negara yang memeluk Agama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu yang hendak melangsungkan pernikahan tidak perlu lagi ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DISDUKCAPIL), melainkan cukup ke KUA.
Sejumlah tokoh-tokoh agama menyatakan dukungannya. Namun yang kontra bertanya mengapa segala keteraturan selama ini harus diusik dengan isu Revitalisasi KUA?
Problem Administrasi Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 memberi tanggung jawab pencatatan pernikahan kepada dua institusi negara. KUA untuk melayani pencatatan warga Islam, dan Kantor Catatan Sipil untuk warga non Islam.
Seluruh warga mengetahui regulasi ini dan tidak seorang pun mempersoalkannya. Warga non Islam sudah terbiasa mengurus pernikahan melalui kanal yang tersedia di Dukcapil. Namun, sedikit yang menyadari selama ini kita mempraktikan ambiguitas administrasi negara dalam konteks administrasi kependudukan.
Dalam jangka panjang, ambiguitas administrasi akan menyebabkan kekacauan data. Pemerintah memerlukan data. Tanpa data permasalahan sulit dipetakan. Imbasnya bisa melebar kemana-mana. Program tidak tepat sasaran, kebijakan tidak menyentuh inti permasalahan dan inefisiensi anggaran.
Padahal negara berkepentingan membangun keluarga harmonis dan sejahtera. Negara harus menjamin hak anak dan ibu didalam keluarganya. Negara harus menyediakan pekerjaan bagi kepala keluarga. Masih banyak lagi. Dan itu memerlukan soliditas data dalam sumber tunggal dan tidak tercerai berai. Untuk menuju kesana perlu dimulai pembenahan Sistem Administrasi Negara kita.
Salah satu prinsip administrasi yang dijelaskan Gulick & Urwick adalah tentang spesialisasi secara fungsional. Yaitu, adanya pembagian kerja dalam organisasi pemerintah berdasarkan kerja yang jelas dan spesifik.
Pembagian kerja tidak didasarkan pembagian “kue” semata, melainkan efektivitas tugas fungsi masing-masing institusi. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan juga menegaskan pentingnya menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
Ambiguitas administrasi tadi perlu diselesaikan. Alih-alih gagasan datang dari Pakar Hukum Administrasi Negara, justru lahir dari Menteri Agama. Pernikahan warga negara harus diperjelas. Apakah lebih tepat menjadi urusan sipil atau agama? Meskipun sama-sama institusi negara, pemerintahan perlu menjaga ritme pembagian kerja antar Lembaga.
Untuk menjawab pertanyaan pernikahan menjadi urusan sipil atau agama, kita harus kembali pada debat usang negara agama vs negara sekuler. Bagi negara agama, urusan pernikahan tentu menjadi domain agama. Pernikahan adalah suci dan sakral. Seorang pria yang hendak berjanji sehidup semati dengan wanita yang dikasihinya harus diikat melalui doa-doa luhur. Disaksikan orang tua/wali dan disahkan pemuka agamanya.
Sebaliknya negara sekuler memandang pernikahan sebagai urusan privat. Asalkan diketahui negara, anda boleh menikahi pasangan anda. Pernikahan hanyalah soal administratif belaka. Namun kedua model ini memiliki kesamaan prinsip, melindungi hak dan kewajiban pasangan dan anak yang akan dilahirkannya.
Apakah dicatatkan melalui Dukcapil maupun KUA adalah opsional. Namun kita bisa menimbang mana yang lebih mudah dilakukan. Memindahkan pencatatan pernikahan umat Islam ke Kantor Pencatatan Sipil tentu lebih rumit dibanding memindahkan pencatatan pernikahan umat non Islam ke KUA.
Dualisme administrasi seperti ini memang harus diakhiri. Apa yang diinisiasi Menteri Agama menarik bagi kita merefleksikan kembali sistem administrasi kita. Sebab kita tidak menghendaki terjadinya dualisme maupun overlapping administrasi.
Membumikan Moderasi Beragama
Revitalisasi fungsi KUA bisa dilihat sebagai upaya membumikan gagasan Moderasi Beragama yang selama ini hanya menghiasi langit Indonesia. Moderasi Beragama tidak lagi bermain pada tataran konsepsi melainkan praksis. Sebagian besar orang mungkin mengetahui gerakan moderasi beragama yang dicanangkan pemerintah, namun hanya menyentuh kognitif. Banyak yang tidak mengerti bagaimana mengaktualisasikan suatu gerakan moderasi beragama.
Bangsa Indonesia punya tradisi dan pengalaman moderat sejak lama. Hidup rukun berdampingan antar tetangga yang berbeda berlangsung turun temurun. Seolah-olah sikap toleran sudah menjadi bahan dasar genetika kita. Sehingga pekerjaan moderasi beragama terasa lebih mudah. Tradisi dan pengalaman itu merupakan pilar yang menyangga bangunan kerukunan bangsa. Tetapi kita tidak tahu seberapa kuat radikalisme dan ekstrimisme masa mendatang.
Pilar Kerukunan kita hampir terubuhkan ketika fenomena politik Pilkada DKI 2017 memfragmentasi kita dalam sentimen politisasi agama yang rumit dan melelahkan. Kita menghadapi sejumlah pertarungan di udara. Diskursus dan media sosial kita tercemar polusi radikalisme. Kebencian begitu mudah di sebar-ajarkan. Oleh karena itu Moderasi Beragama harus menjadi tanaman yang tumbuh menghalau polusi untuk memberi oksigen kedamaian bagi kehidupan berbangsa.
Belajar dari pengalaman itu cepat atau lambat kita perlu menambah pilar penyangga baru. Salah satunya dengan memperbaiki layanan keagamaan oleh negara terhadap warganya. Layanan apapun yang berasal dari negara tidak boleh fragmented tetapi membaurkan. Pembauran adalah jurus ampuh mengatasi segala macam sentimen primordial. Karena akar dari primordial adalah prasangka buruk dari pihak lain yang mengisolasi diri dalam kelompoknya. Menyatukan fungsi layanan Agama dalam satu kantor justru menciptakan banyak pembauran.
Lagipula Moderasi Beragama yang digencarkan Pemerintah bukan proses serta merta. Bukan pula spontanitas ide yang terjadi begitu saja. Melainkan rangkaian usaha sistematis memoderasikan pemikiran umat beragama untuk beranjak ke level penghayatan lebih tinggi. Sebelum ini Kementerian Agama aktif mensosialiasikan Moderasi Beragama ke hampir seluruh kelompok-kelompok Masyarakat. Sekaligus mempersiapkan ASN dan umat menjadi pelopor dan penggerak bagi Moderasi Beragama.
Penutup
Usul revitalisasi KUA harus datang dari mayoritas. Karena ini menyangkut “berbagi meja” dengan minoritas. Perlu kematangan beragama untuk menerima kemajemukan sebagai fakta sosial, dan visi pemenuhan kesamaan hak didalam pelayanan publik. Sesungguhnya istilah “berbagi meja” sudah tercermin dari Struktur Kementerian Agama dari Pusat, Provinsi hingga Kabupaten; di mana semua Agama memilki porsi dan posisi masing-masing dalam struktur organisasi. Namun KUA adalah gerbang terluar yang menjadi wajah Kementerian Agama. Kita hanya perlu mengecat ulang gerbang untuk mempersilahkan seluruh warga masuk menikmati indahnya warna kerukunan.
(Diambil dari Situs Kemenag. Martin H. Siagian adalah ASN di Ditjen Bimas Kristen Kemenag)
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...