Rezim Al-Assad Diuntungkan oleh Adanya Jihadis di Suriah
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM – Upaya internasional mempertemukan para pihak dalam konflik Suriah untuk perdamaian yang akan diselenggarakan di Jenewa 22 Januari mendatang telah memberikan keuntungan bagi rezim Bashar Al-Assad dan kelompok pemberontak moderat.
Sepanjang konflik bersenjata yang berlangsung hampir tiga tahun, rezim Al-Assad mendapatkan pembenaran penggunaan kekuatan senjata dengan alasan memerangi terorisme dari kelompok jihadis, dan berusaha untuk mendapatkan dukungan di seluruh dunia.
Meskipun pihak Amerika Serikat menoolah Al-Assad, ada kebocoran informasi ke jurnalistik AS yang mengungkapkan adanya kerjasama intelijen AS dengan pihak Damaskus untuk mengumpulkan informasi tentang 1.200 jihadis Eropa yang bergabung daalam pertempuran di Suriah.
Kelompok Jihadis yang diperangi oleh rezim Al-Assad, dan belakangan juga diperangi oleh kelompok pemberontak Islam moderat dan nasionalis, terutama yang bergabung dalam Front Nusra dan Negara Islam Irak dan Levamt (ISIL).
Kehadiran jihadis ini yang membuat bantuan Barat kepada pemberontak tersendat, karena alasan kekhawatiran jatuh ke tangan jihadis yang telah mereka tetapkan sebagai kelompok teroris. Situasi ini memperkuat posisi rezim Al-Assad.
Posisi Suriah
Rusia juga menjadi bagian dari pandangan yang sama sebagai sekutu rezim Suriah. Rusia menilai konferensi perdamaian sebagai kesempatan untuk pembicaraan yang ditengahi internasional antara pemerintah dan oposisi.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan bahwa konferensi Jenewa II yang sangat ditunggu-tunggu dan bertujuan untuk "memerangi terorisme. Dia mengatakan itu dalam pertemuan pekan ini dengan mitranya dari Iran, Mohammad Javad Zarif.
Zarif menuju ke Moskow bersama Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Al- Muallem, untuk melakukan pembicaraan dengan Lavrov menjelang konferensi tersebut.
Al – Muallem pada hari Jumat (17/1) mengatakan bahwa dia telah menyerahkan kepada Rusia rencana untuk gencatan senjata di Aleppo, kota terbesar kedua Suriah, dan siap untuk bertukar daftar dengan pasukan pemberontak untuk pertukaran dan pembebasan tahanan.
"Saya mengandalkan keberhasilan rencana ini jika semua pihak melaksanakan kewajiban mereka," kata Al-Muallem dalam konferensi pers bersama di Moskow dengan Lavrov. "Kami ingin ini (gencatan senjata di Aleppo) menjadi contoh bagi kota-kota lain," kata Al-Muallem.
Pemberontak Siap Gencatan Senjata
Masalah kehadiran kelompok jihadis di Suriah tampaknya akan menjadi agenda penting bagi pemberontak maupun rezim Al-Assad untuk menyatukan keduanya duduk di perundingan dan mengatasi konflik bersenjata.
Menurut AFP, Amerika Serikat telah mengatakan bahwa pemberontak yang didukung Washington telah sepakat untuk mematuhi seperti gencatan senjata parsial jika pemerintah berkomitmen untuk itu.
Namun demikian, kemungkinan keberhasilan tetap sempit di tengah tidak adanya jaminan oleh Islamis atau kelompok jihadis. Faksi ini dinilai masih kuat dalam memerangi rezim Al-Assad dan jaringan di kawasan Teluk.
Amerika Serikat saat ini mendesak oposisi Suriah untuk menghadiri konferensi. Yang terakhir diadakan pertemuan dua hari di ibu kota Turki, Ankara, untuk menentukan apakah mereka akan berpartisipasi dalam konferensi.
Sikap bersama menghadapi kelompok jihadis tampaknya akan menjadi agenda yang disepakati kedua pihak dan para mitra mereka di luar.
Soal Kehadiran Iran
Bassam Al-Malek, anggota Koalisi Nasional Suriah (SNC), mengatakan kepada Ahram online bahwa blok oposisi utama menghadapi tekanan untuk menghadiri pembicaraan Jenewa "tanpa prasyarat."
"Pihak oposisi menyerukan untuk menghentikan agresi terhadap warga sipil, serta membuka saluran untuk bantuan kemanusiaan," kata Al-Malek, mengacu pada syarat yang diajukan SNC untuk bergabung dalam proses negosiasi.
Yang paling penting, dia menyatakan bahwa SNC menuntut pembentukan pemerintahan transisi di Suriah dengan otoritas penuh, tanpa kehadiran Al-Assad.
Al-Malek mengatakan bahwa oposisi telah menyerukan mengeluarkan unsur-unsur teroris asing dari "arena Suriah" dari awal konflik, dan menyatakan bahwa Iran "memiliki pejuang di tanah."
"Iran adalah pihak dalam konflik dan bukan solusi, duduk dengan para pejabat pada satu meja tidak akan berbuah karena merupakan pemain yang tidak netral," kata dia.
Perang di Suriah berlangsung hampir tiga tahun sejah pecah pada Maret 2011 dan telah membunuh lebih dari 130.000 orang. Selain itu jutaan warga Suriah hidup menderita terjabak di tengah konflik senjata, atau terpaksa menggungsi ke negara tentangga. (ahram.org.eg / AFP)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...