HAM
Penulis: Dedy Istanto
17:13 WIB | Jumat, 03 Juni 2016
Ribuan Warga Eks Gafatar Tagih Janji Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lebih dari 5.000 jiwa anggota eks Gafatar terlunta-lunta nasibnya karena janji kosong pemerintah seperti yang disampaikan salah satu mantan pengurus Gafatar, Jefry (35) ketika mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, hari Kamis (2/6) didampingi tim kuasa hukumnya.
Melalui keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com hari Jumat (3/6), selain diskriminasi yang diadukan, Jefry juga meminta harta benda warga eks Gafatar yang sudah habis dihancurkan oleh pengusiran sistematis dari Pulau Kalimantan dengan melibatkan aparat negara untuk dikembalikan, karena sampai saat ini mereka mengalami kesulitan dalam membangun kembali masa depannya. Selain karena diskriminasi yang tidak putus dari aparat pemerintahan, masyarakat juga sekarang terstigma dan tidak menerima keberadaan warga eks Gafatar.
“Apa yang kami kerjakan di Mempawah, Singkawang, Ella dan Bengkayang hanya bertani dan beternak. Menjadikan Kalimantan sebagai lumbung ketahanan pangan Indonesia. Itu cara kami mengabdi pada ibu pertiwi. Tapi kami malah diusir paksa dan diperlakukan seperti teroris,” kata Jefry di depan Ketua Komnas HAM, M. Imdadun Rahmat.
Pelanggaran HAM Nyata
Jefry menyesalkan ketidakhadiran negara pasca pengusiran paksa yang terjadi beberapa bulan lalu. Bahkan janji Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang akan memberikan jaminan hidup per hari per jiwa sebesar Rp 10.000 tidak kunjung terealisasi.
“Negara tidak peduli nasib kami yang sekarang tidak bisa beraktivitas normal seperti masyarakat lainnya dalam memenuhi hidup. Sebab, kami terus dicurigai masyarakat. Ketika di antara kami dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, aparat pemerintah mengumumkan kepada masyarakat sambil melekatkan stigma kepada kami, layaknya teroris yang harus dijauhi. Kami juga dipaksa beribadah sesuai dengan agama yang resmi,” ungkap Jefry yang pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) yang lebih sering disebut sebagai eks Gafatar.
Asfinawati selaku tim kuasa hukum dari tiga mantan elit Gafatar, di antaranya Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya yang kini ditahan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia meminta kepada Komnas HAM untuk mendesak kepolisian segera membebaskan mereka.
“Penahanan terhadap ketiganya tidak sah karena tidak ada alasan hukum yang membenarkan penangkapan tersebut. Pemidanaan terhadap ketiganya oleh kepolisian telah melanggar hukum, karena tidak berlandaskan seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan SKB dari UU tersebut,” tegas Asfin.
Selain kepolisian menabrak dua instrumen itu, Asfin menambahkan, kepolisian juga melanggar fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 ini menegaskan, “kepolisian tidak merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan penahanan terhadap tersangka dengan minimal dua alat bukti yang cukup yang dijelaskan oleh penyidik kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Kepolisian juga lalai karena satu hari setelah ketiga eks Gafatar ditangkap, mereka tidak diperiksa.”
Atas pengaduan tersebut, Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat rencananya akan mengagendakan perumusan tindakan yang akan diambil oleh Komnas HAM. Pengaduan ini juga akan diperkuat dengan hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.
“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” kata Imdadun Rahmat.
Nasib berat perempuan eks Gafatar
Selain mengadu kepada Komnas HAM, warga eks Gafatar juga mengadukan diskriminasi yang dialami kepada Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) yang langsung diterima oleh Ketua Komnas Perempuan Azriana bersama komisioner di antaranya, Saur Tumiur Situmorang dan Adriana Venny Aryani.
Bunda Ida (40) seorang mantan Gafatar mengadukan kondisi yang lebih tragis yang dialami oleh anak-anak dan perempuan. Situasi penuh intimidasi, kekerasan, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma. Beberapa di antara mereka sampai sekarang masih menangis.
“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung dari mulai proses pengusiran paksa oleh Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Lurah, Camat, Babinsa sampai dengan Bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal baru mereka, menyaksikan pula tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang di Bekangdam XII Tanjungpura, Kalimantan Barat, sampai cara-cara tidak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan-kendaraan untuk dipindah ke pengungsian,” kata Bunda Ida yang juga menjabat DPD Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.
Menuntut negara
Melihat kondisi itu, warga eks Gafatar mendorong Komnas Perempuan dan Komnas HAM segera menuntut negara menjamin dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan warga eks Gafatar yang selama ini terampas. Kemudian, mengingatkan negara untuk bertanggung jawab memberikan pemulihan psikologis atas trauma berat yang menimpa warga eks Gafatar, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.
Selanjutnya, menuntut kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menginstruksikan jajarannya supaya diberi kemudahan kepada mantan anggota Gafatar dalam pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk tidak didiskriminasi. Dan terakhir, segara menghentikan dan menindak aparat dan juga pejabat pemerintah yang mendorong upaya memberi “cap” kepada warga eks Gafatar. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Film Mufasa: The Lion King Tayang di Bioskop
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut masa liburan akhir tahun, The Walt Disney Studios merilis film ...