RUU Anti Terorisme Malaysia Dinilai Mirip ISA
Dinilai mirip dengan Internal Security Act (ISA) yang digunakan untuk menghadapi lawan politik. Dalam RUU ini hukuman untuk teroris lebih berat.
KUALA LUMPUR, SATUHARAPAN.COM - Rancangan Undang-undang Anti Terorisme yang diajukan pemerintah Malaysia untuk dibahas di parlemen telah mengundang banyak kritik, karena dinilai tidak beda dengan UU Keamanan Dalam Negeri (ISA / Internal Security QAct), dan dikhawatirkan akan digunakan untuk menahan lawan politik oleh pemerintah.
Pemerintah Malaysia, hari Senin (30/3) lalu mengusulkan dua undang-undang baru anti terorisme. RUU itu akan memberi wewenang untuk penahanan tanpa pengadilan dan tanpa batas, serta penyitaan paspor orang yang dicurigai mendukung aksi teror.
RUU itu merupakan upaya untuk mencegah kegiatan militan. Dan akhir tahun lalu Pemerintah Malaysia mengatakan perlunya langkah baru yang diperlukan setelah menangkap sekitar 100 warga Malaysia yang diduga mendukung kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria / ISIS). Lebih dari 60 warga Malaysia yang diyakini telah bergabung dalam perang di Suriah dan Irak, serta lain 10 yang dinyatalah telah tewas.
Namun rencana itu mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, karena dinilai menghidupkan kembali UU keamanan dalam negeri yang kontroversial dan membatasi kebebasan masyarakat sipil.
Menurut situs berita malaysiainsider.com RUU terorisme 2015 itu telah diajukan ke parlemen dan merupakan "reinkarnasi" dari Internal Security Act (ISA). Pemimpin Pakatan Rakyat dari Kuala Terengganu, Datuk Raja Kamarul Bahrin Shah Raja Ahmad, menyebutkan RUU itu menimbulkan kekhawatiran pada keadilan dalam penegakan hukum.
Menurut dia, peraturan baru itu mengkhawatirkan, karena dapat digunakan untuk melawan pihak yang melontarkan kritik pada pemerintah.
"Selama ISA (diberlakukan), di era Tun Abdul Razak, dia meyakinkan ISA tidak akan digunakan melawan rival politik, tapi apakah itu bermakna?" tanya Raja Kamarul, hari Senin, setelah Menteri Dalam Negeri, Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, mengajukan RUU.
Pemerintah menyebutkan, RUU itu menekankan bahwa tidak ada yang akan ditahan hanya karena keyakinan politik mereka atau kegiatan politik.
RUU kedua, Tindakan Khusus Terhadap Terorisme di Luar Negeri, akan memberi pihak berwenang untuk menangguhkan atau mencabut dokumen perjalanan atau dokumen kewarga-negaraan orangyang diyakini terlibat dalam atau mendukung aksi terorisme.
Hukuman lebih Berat
Pemerintah dalam komentar yang dikutip media setempat mengatakan bahwa UU itu bertujuan untuk membatasi terorisme dan mencegah Malaysia menjadi tempat transit bagi teroris asing.
Usulan lainnya terkait hukuman yang lebih berat terhadap tindakan yang berkaitan dengan teror, termasuk hingga 30 tahun penjara bagi mereka yang ditemukan menerima pelatihan atau instruksi, bepergian ke atau dari Malaysia untuk melakukan terorisme di negara asing, dan memberi fasilitas untuk digunakan dalam aksi terorisme.
Memiliki item yang terkait dengan terorisme juga dapat dipenjara hingga tujuh tahun. Sedangkan diketahui hadir pada pelatihan teror dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun.
Rancangan UU itu akan dibahas di parlemen bulan April ini untuk kemudian mendapatkan persetujuan dan disahkan sebagai UU.
Namun RUU Pencegahan Terorisme ini dinilai mirip dengan Internal Security Act (ISA) yang telah dihapuskan pada tahun 2012.
ISA disahkan pada tahun 1960 untuk memberikan kekuasaan pada pemerintah untuk mencegah ancaman keamanan nasional setelah pemberontakan komunis. Namun selama beberapa dekade lawan politik dan kritikus pemerintah kadang-kadang ditahan selama berbulan-bulan tanpa pengadilan menggunakan UU itu.
"Saya merasa bahwa itu tidak berbeda antara ISA dan RUU baru. Seperti anggur lama dalam botol baru," kata anggota parlemen, Wong Chen, seperti dikutip kantor berita AP.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...