RUU Kebudayaan Hanya Menciptakan Polisi Kebudayaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejarawan Hilmar Farid menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sedang digodok Komisi X DPR RI dapat menciptakan polisi kebudayaan seperti yang pernah terjadi di zaman Orde Baru maupun zaman kolonial Belanda.
Hilmar Farid ini menunjukkan keberadaan polisi kebudayaan ini ditampilkan dalam wujud Komisi Perlindungan Kebudayaan yang bertugas melindungi masyarakat dari dampak negative kebudayaan seperti digagas dalam Pasal 75 RUU Kebudayaan.
“Komisi Perlindungan Kebudayaan ini keinginan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif. Pertanyaannya lagi-lagi balik. Siapa yang menentukan bahwa kebudayaan itu berdampak negatif. Di dalam masyarakat plural seperti ini sulit sekali membuat patokan-patokan mengenai sisi negatif di dalam kebudayaan,” kata sejarawan itu dalam diskusi publik bertema ‘RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera’ di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Kamis (3/7).
Dia juga mengkhawatirkan matinya kebudayaan ketika RUU Kebudayaan ini ke depannya diterapkan karena RUU ini tidak menyediakan ruang kebebasan. Sementara pasal –pasal yang mengatur hal-hal negatif terkait kebudayaan yang diatur RUU Kebudayaan ini memiliki perangkat hukum dalam Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi dan KUHP. “Jadi sudah cukup banyak perangkat hukum yang kita miliki untuk meredam, mengatasi dampak negatif seperti yang dirumuskan dalam RUU ini.”
Ketua Perkumpulan Praxis ini menuturkan secara umum RUU Kebudayaan itu tidak jelas. “Kebudayaan itu ‘kan maha luas. Apa yang mau dibuat dengan RUU Kebudayaan itu? RUU ini akan menjadi sumber persoalan daripada sumber pemecahan. Kita ini menginginkan Undang-Undang untuk mencari pemecahan menangani kebudayaan.”
Dia berpendapat naskah akademik RUU Kebudayaan berlatarbelakang melemahnya ikatan sosial yang tercabik-cabik entah karena konflik sosial, kesenjangan ekonomi, masalah sektarian sehingga menyebabkan lunturnya nilai-nilai.
“Kalau ini latar belakangnya, ada persoalan yang agak serius. Kita musti ingat, birokrasi ini hidup dari warisan Orde Baru. Satu ciri dari Orde Baru dia yakin bahwa dia lebih pinter daripada orang lain. Ini tercermin. Menggunakan rumus-rumus yang sangat abstrak dan berpikir masyarakat akan ikut.
Sementara masyarakat sudah melaju 10 hingga 20 langkah di depan dan birokrasinya ketinggalan. RUU Kebudayaan bukannya mendorong masyarakat maju, tetapi justru menghambat lajunya. Hal ini harus dulu kita pahami. RUU ini bagus bunyinya, tetapi kalau jauh dari kenyataan. Tidak akan bisa menjawab masalah kebudayaan.”
Budaya Kontemporer
Hilmar Farid menyebutkan kebudayaan kontemporer saat ini merupakan potret kenyataan Indonesia. Hal ini justru tidak ditangkap RUU Kebudayaan.
“Misalnya berapa jam orang menghabiskan waktu memelototi layar teleponnya? Berapa jam yang kita habiskan untuk menonton televisi. Itu yang membentuk kebudayaan hari ini. Screen culture ini tidak pernah kita definisikan padahal sangat besar pengaruhnya,” kata aktivis pergerakan tani ini.
Menurutnya, RUU Kebudayaan ini tidak mendirikan benteng material bagi masyarakat. Tidak mendukung penyediaan dan keberadaan infrastruktur kebudayan. RUU ini bila disahkan akan melanjutkan tradisi Orde Baru. RUU ini menghasilkan sesuatu yang dirasa penting tetapi sebetulnya tidak ada beresonansi di masyarakat.
Sejarawan ini juga menolak standarisasi pranata dan sertifikasi sumber daya manusia kebudayaan yang diatur dalam Pasal 59 Ayat 2 RUU Kebudayaan. Dia menyebutkan untuk para seniman dan masyarakat adat maka hal itu sangat sulit diterapkan.
“Seniman mau di-ISO? Niatnya saya tahu mulia, setiap profesi ada standarisasi. Kalau bicara sertifikasi pasti ada abstraksi, sekumpulan aturan indikator yang pantas dia disebut sebagai pranata. Secara prinsip ini mengundang masalah.”
Hilmar Farid berpandangan negara supaya tidak ikut mencampuri kebudayaan. “Lebih baik ambil stand point, negara-negara tidak ikut campur. Soal estetika, diserahkan kepada seniman. Orang di kampus biar bergelut dengan teori kebudayaan. Biarlah mereka berantem karena dengan begitu mereka bisa berkembang.”
Dia menilai RUU itu yang dibuatnya harusnya mempunyai fungsi dan tujuan yang spesifik. Seperti bertujuan melindungi kebudayaan atau hak-hak budaya yang musti dipenuhi. “Misalkan kita bandingkan dengan negara lain yang memiliki Undang-Undang Perlindungan Kebudayaan.”
Hilmar Farid juga menuturkan negara harusnya lebih banyak melakukan investasi kebudayaan. Investasi kebudayaan bukan bertujuan menerima hasil saja dan hanya menitikberatkan pada nilai ekonomisnya saja. Tetapi investasi kebudayaan ini bertujuan mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia ke depan.
Dia mencontohkan para pekerja film Indonesia merasakan betul persoalan kurangnya dukungan negara. “Filmnya tidak akan tayang lebih dari seminggu di bioskop ketika tidak ada penontonnya, sementara film luar walau sama kosongnya, tetapi tetap tayang dua hingga tiga minggu. Apa intervensi Pemerintah dalam hal ini kalau ingin melindungi kebudayaan Indonesia?”
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...