“Sadulur Rupa” Tarian Ubud-Batuan di Atas Kanvas
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bali sejak dulu dikenal melahirkan banyak pelukis realis yang mengeksplorasi tradisi dan realitas kehidupan sehari-hari sebagai obyek dalam karyanya. Karya tiga puluh tiga pelukis Bali dalam gaya realis dipamerkan di Sangkring art space, Kampung Nitiprayan, Ngestiharjo Bantul.
Dengan melihat sekilas pengunjung bisa mengetahui karya pelukis Bali dengan ruang yang padat berisi penuh, detail kontur-garis, komposisi warna, maupun alur-konsep yang estetik-artistik dalam nuansa alam-tradisi masyarakat setempat ataupun sekuel kisah pewayangan.
Pameran yang memajang karya-karya lukisan yang didominasi gaya Ubud dan Batuan, dua gaya lukisan realis seniman Bali yang menjadi ciri khas lukisan tradisional Bali selain Pengosekan, Kamasan, Sanur, dan Keliki. Berbagai gaya tersebut ada banyak kemiripan meskipun masing-masing memiliki ciri khas. Kemiripan tersebut lebih banyak dihasilkan dari teknik yang digunakan.
Teknik-teknik melukis yang digunakan antara lain: nyawi (menegaskan sketsa dengan tinta Cina), ngabur ( mengesankan gelap terang), nguap (memberi warna transparan secara merata), nyenter (memberi pencahayaan dengan warna putih atau kuning), ngewarna (mewarnai), manyunan (membuat detail dan ornamen) serta menyelesaikannya dengan memberi detail dan beberapa warna tambahan, ngucek atau membuat lukisan lebih berdimensi dan lebih cerah.
Ubud adalah daerah yang menjadi pusat seni untuk beberapa abad. Pada awalnya lukisan bertema wayang yang berhubungan dengan agama menjadi gaya yang identik untuk seni daerah Ubud. Lukisan yang berasal dari daerah Ubud juga dipengaruhi dengan kehadiran kerajaan Ubud kala itu. Di Ubud jugalah Pitamaha art guild pada tahun 1936 dibuat untuk menjadi sarana kesenian Bali ditingkatkan selain untuk menyebarkan pariwisata Bali lewat lukisan.
Seni lukis gaya Batuan sebagaimana seni lukis Bali gaya lokal (desa) lainnya, tetap bersumber pada seni lukis klasik Bali (seni lukis wayang) dari Gelgel, Klungkung era Raja Waturenggong, abad XV. Tradisi melukis wayang di Batuan dirintis generasi akhir abad ke-19, seperti Ida Bagus Kompiang Sana, I Wayan Naen, I Dewa Putu Kebes, maupun I Dewa Nyoman Mura.
Perkembangan kemudian, mulai awal abad ke-20 muncul fenomena menarik di Batuan, yakni adanya ekspresi-ekspresi seni lukis yang genial dari puluhan pelukis remaja/muda yang memunculkan gelombang seni lukis hitam-putih (tanpa warna), dengan pilihan tema bicara tentang dunia magis, mistik dan mitologi. Salah satu yang dipamerkan adalah karya I Ketut Juliarta berjudul “Sakral” yang menggambarkan proses sakralisasi sebagai alat pemujaan, dan lukisan berjudul “Sorga dan Neraka” karya I Ketut Roji.
Kelahiran seni lukis hitam-putih ini merupakan respon dari penelitian antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson dalam meneliti psikologi orang Bali melalui ekspresi seni lukis remaja/pemuda Batuan. Para remaja/pemuda itu diberi kertas gambar secara cuma-cuma, kemudian mereka melukis dengan bebas, lahirlah kemudian seni lukis ‘surealistik’ itu.
Seni lukis gaya Ubud-Batuan mulai awal abad ke-20 berkembang dalam dua pola perkembangan, yakni yang dipengaruhi gaya Pita Maha di Ubud, dan yang lahir dari pola interaksi dengan antropolog Mead dan Bateson yang melahirkan stilistik dan pola pewarnaan hitam putih. Selebihnya persoalan teknik seni lukis, juga merupakan capaian unik dari tiap personal pelukis/komunitas dan juga milik teritorial desa tertentu. Hal ini disebabkan karena adanya tradisi pengajaran seni secara informal, maka kemudian pengusung teknik tersebut berkembang.
“Belajar langsung dengan pola nyantrik di sanggar sudah dijalani masyarakat Bali sejak usia belia. Di sanggar-sanggar seni itulah mereka belajar bersama pemilik-pengasuh sanggar. Nilai-nilai yang ditransformasikan tidak hanya secara verbal ataupun kasat mata disampaikan, namun lebih pada sebuah proses yang berlangsung secara alamiah dan terus menerus. Pola demikian selain terjadi transformasi nilai sekaligus seniman muda bisa memahami betapa pentingnya proses berkreativitas yang dijalaninya. Tidak bisa instan. Perlu waktu, ketekunan, dan terus-menerus,” Jelas Putu Sutawijaya kepada satuharapan.com, Sabtu (3/11).
Lukisan Ubud-Batuan Pasca Bom Bali 2002
Kurun enam belas tahun terakhir pasca bom Bali 2002, ada kecenderungan menurunnya jumlah pelukis penekun gaya seni lukis Bali. Menurunnya kunjungan kolektor internasional pasca Bom Bali berdampak pada penjualan karya lukisan bergaya Bali. Sebagian pelukis berhenti total, kerja melukis paruh waktu, dan hanya sebagian kecil yang tetap konsisten untuk teguh melukis dan terus mencipta-eksplorasi tema-tema baru. Perlahan-lahan karya-karya mereka mulai diminati kolektor tanah air seperti dari Jakarta, Surabaya, dan Bali sendiri, dari luar negeri datang dari Singapura juga Malaysia.
Kehadiran sosok I Wayan Sutarma pasca Bom Bali 2002 memegang peranan penting dalam mempertahankan nilai estetik dari mahakarya seniman lukis Bali agar tetap eksis. Para seniman menjadi termotivasi untuk berkarya lagi ketika Wayan mulai mengumpulkan beberapa karya seni lukis tradisi dari seniman Bali sekaligus menyediakan mereka ruang untuk menyalurkan karya mereka menjadi karya yang sangat layak untuk dihargai, dan melepaskan mereka dari kevakuman dalam berkarya. Setelah karya dikumpulkan, Wayan membangun relasi lebih intens dengan para kolektor-pecinta karya seni Hauw Ming, Melani Setiawan, dan Agus Dermawan T.
Hasil dari pertemuan tersebut lahirlah Bali Bangkit atau Bali Bravo di tahun 2015, yakni wadah berkarya bagi para seniman lukis tradisi Bali. Pameran akbar digelar di Museum Arma, dan pada saat itu pula Larasati mengadakan Auction Masterpiece di Maya Hotel, dan yang menarik apa yang ada pada buku Bali Bangkit/Bali Bravo dijadikan panduan sehingga ada kepercayaan atas karya para seniman sebagai karya yang bermutu. Pada pameran tersebut semua karya dari seniman sold out alias habis terjual.
Nama-nama pelukis generasi saat ini Ketut Sadia dan Wayan Diana sering berhasil lolos dalam kompetisi seni lukis tingkat nasional, seperti Jakarta Art Awards maupun UOB Paintings of The Year. Sementara karya-karya Bendi, Budi dan juga Sadia dan lain-lain dipilih beberapa museum sebagai koleksi, seperti Museum Neka, Ubud, Agung Rai Museum, Ubud, dan lain-lain.
Pameran bertajuk “Sadulur Rupa” menyajikan karya seni lukis tradisi Bali yang relatif menyeluruh mulai dari karya seni lukis klasik hingga kontemporer. Selain arti sebagai saudara, sadulur dimaknai sebagai bagian dari proses regenerasi seni yang begitu hidup. Hal ini bisa dilihat dari hasil karya yang dipamerkan mulai dari karya pelukis senior sampai dengan pelukis muda yang begitu berani menampilkan karya seni lukis yang mendobrak sisi pakem seni tradisi lukis Bali, dengan pola-pola baru yang lebih berani dan kontemporer-tradisi.
Secara umum, lukisan tradisional Bali mengangkat tema-tema cerita rakyat (Tantri, Rajapala, Calonarang), kisah pewayangan (Mahabharata dan Ramayana), kehidupan sehari-hari, seremoni adat/agama. Namun, dalam perkembangannya, beberapa pelukis Batuan kerap mengangkat tema kehidupan kontemporer dengan memasukkan gambar pesawat terbang, mobil, figur turis, dan sebagainya. Hal itu misalnya, terlihat pada lukisan-lukisan Wayan Bendi, Ketut Sadia.
Dalam karya berjudul “Tajen” yang bercerita tentang prosesi sabung ayam untuk kegiatan sabung ayam dalam upacara yadnya sesuai adat-istiadat Bali, Wayan Bendi menambahkan dengan obyek mobil. Begitupun pada karya berjudul “Sebuah Perubahan”. Sementara Wayan Diana pada karya berjudul “Life and corruption” yang menggambarkan sebuah ajang korupsi yang sudah dari lini bawah sampai lini atas menambahkan obyek hotel, pesawat terbang, lalu lalang mobil di tengah keriuhan manusia dan figur deformasi makhluk menyerupai manusia dan tikus-tikus raksasa yang saling berebut apapun dalam nuansa ketamakan-keserakahan.
Lukisan hitam-putih terlihat lebih dramatis ketika menggunakan obyek sekuel-sekuel cerita pewayangan. Dewa Sugi misalnya dengan karya lukisan berjudul “Bharata Yuda”, “Tenggelamnya Dwarawati” yang dibuat I Nyoman Toyo dengan medium tinta di atas kanvas, ataupun I Gede Ngurah Panji dengan karya berjudul “Mahabharata” memadukan tinta cina dan cat akrilik di atas kanvas. Meskipun begitu karya lukisan hitam-putih tetap memunculkan detail-detail yang impresif pada karya lukisan dengan obyek kehidupan sehari-hari seperti “Sawah di Bali” karya I Wayan Gandera, ataupun “Budaya Bali” karya I Made Suryana
Menarik juga menyaksikan karya lukisan I Nyoman Ridi berjudul “Memanen Padi” dan I Made Ariasa dengan lukisan berjudul “Pasar Zaman Kolonial” yang dibuat dengan menggunakan medium akrilik di atas kanvas dalam rona monochrome.
Pameran bertajuk “Sadulur Rupa” dihelat mulai 28 Oktober hingga 28 Desember 2018 di Sangkring art space, Jalan Nitiprayan No. 88 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...