Sambut, Penyambut, dan Penyambutan
SATUHARAPAN.COM – ”Siapa saja yang menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan siapa saja yang menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar” (Mat 10:41).
Demikianlah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Jelaslah, penyambutan tidak bergantung kepada siapa yang disambut! Entah nabi, entah orang biasa, kualitas sambutan seharusnya sama. Dengan kata lain, penyambutan memperlihatkan kualitas diri sang penyambut, entah siapa pun yang disambutnya.
Mengapa demikian? Karena Allah lebih dahulu menyambut kita! Bagaimanapun, Allah tidak membeda-bedakan orang yang disambutnya. Semua orang diterima-Nya sebagaimana adanya!
Di sini persoalannya: kita kadang lebih suka menyambut orang yang memberi manfaat kepada kita. Jika tidak, kita lebih suka mengabaikannya. Atau, sambutan kita akhirnya menjadi sekadar basa-basi.
Sekali lagi, Yesus menekankan bahwa penyambutan tidaklah bergantung pada yang disambut, tetapi bergantung pada pribadi yang menyambut. Pada titik ini, kita bisa belajar dari Abraham. Ketika Allah memintanya mempersembahkan Ishak, sebagaimana biasa terjadi pada agama-agama suku pada waktu itu, anak Nahor itu tidak menolaknya. Bisa jadi Abraham bingung dengan permintaan Allah itu. Tetapi, Abraham tidak menolaknya. Tanpa bertanya, Abraham menaati perintah Allah itu.
Abraham sendiri tak sampai hati ketika Ishak mempertanyakan hewan yang akan dipersembahkan. Abraham, mungkin dalam bingung, akhirnya berkata, ”Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku” (Kej. 22:8). Dan perkataan Abraham memang tidak salah. Bagaimanapun, Ishak memang berasal dari Allah dan milik Allah.
Bahkan, perkataan ”Allah menyediakan” memperlihatkan pengakuan iman Abraham. Pada hakikatnya, berkait dengan persembahan, memang tidak ada seorang pun bisa mengklaim bahwa semuanya berasal dari kita. Memang uang kita, tetapi bukankah nafas hidup, yang membuat kita mampu mencari uang, bukan dari kita asalnya?
Apa pun itu, Abraham telah menyambut Allah sebagai Tuhan. Dia tidak menolak perintah Allah karena Allahlah Tuhan dan bukan dirinya. Abraham adalah hamba Allah. Dan pada titik ini jelaslah bahwa Abraham telah sungguh-sungguh menganggap dirinya sebagai hamba. Dan sebagai hamba, Abraham hanya memilih taat kepada Tuhannya.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...