Sandera Israel Bebas Setelah 491 Hari Bertanya: Di mana PBB, Palang Merah, dan Dunia?

PBB, SATUHARAPAN.COM-Sandera Israel yang dibebaskan oleh Hamas, Eli Sharabi, yang dipukuli, dirantai, dan dibiarkan kelaparan selama ditawan selama 491 hari oleh Hamas, mengungkapkan kemarahannya saat tampil di Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada hari Kamis (20/3) karena harus menderita begitu lama dan khawatir setiap hari akan dibunuh.
“Di mana PBB? Di mana Palang Merah? Di mana dunia?” tanya Sharabi.
Ia menantang badan PBB yang paling berkuasa: "Jika Anda mendukung kemanusiaan, buktikanlah" dengan membawa pulang 59 sandera yang masih berada di Gaza, yang banyak di antaranya diyakini telah tewas.
Nasib para sandera yang tersisa menjadi semakin tidak pasti setelah Israel pada hari Selasa (18/3) mengakhiri jeda selama enam pekan dalam pertempuran yang memungkinkan pengembalian beberapa sandera dengan imbalan tahanan Palestina.
Sharabi mengatakan dewan berbicara tentang perlunya memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina di Gaza, tetapi ia melihat militan Hamas memakan makanan curian dari lusinan kotak yang ditandai dengan lambang PBB sementara para sandera kelaparan. Mereka mungkin diberi sepotong pita dan seteguk teh sehari, dan sesekali kurma kering, katanya.
Ketika dibebaskan pada 8 Februari, Sharabi mengatakan berat badannya 44 kilogram (sekitar 97 pon) — lebih ringan dari berat badan putri bungsunya, yang tewas bersama istri dan putri sulungnya dalam serangan mendadak Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023, bersama sekitar 1.200 orang lainnya. Ia termasuk di antara 251 orang yang disandera.
Amerika Serikat pada bulan November memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera di Gaza karena resolusi tersebut tidak terkait dengan pembebasan segera para sandera.
Orang-orang Palestina dan para pendukungnya kemudian mendatangi Majelis Umum yang beranggotakan 193 orang, yang mengadopsi sebuah resolusi pada bulan Desember yang menuntut gencatan senjata dan menegaskan kembali tuntutannya untuk pembebasan para sandera. Namun, tidak seperti resolusi Dewan Keamanan, resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum tidak mengikat.
Gencatan senjata yang mulai berlaku pada bulan Januari hancur pada hari Selasa (18/3) dengan serangan udara mendadak di Gaza yang menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, salah satu jumlah korban tewas tertinggi dalam perang yang berlangsung hampir 18 bulan. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Kehadiran Sharabi di hadapan dewan, yang kedua kalinya oleh seorang sandera yang dibebaskan, menyusul permintaan Israel pekan lalu untuk mengadakan pertemuan mengenai nasib para sandera.
Wakil duta besar Inggris, James Kariuki, menyebut penderitaan Sharabi "di luar imajinasi" dan mengatakan "Hamas harus bertanggung jawab atas tindakan tercela mereka."
Namun Kariuki juga mengatakan Inggris mengutuk "peringatan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, tentang kehancuran total Gaza." Inggris menyerukan pemulihan bantuan yang cepat ke Gaza, penyelidikan atas tuduhan kekerasan seksual dan berbasis jender terhadap tahanan Palestina oleh pasukan Israel, dan segera kembali ke kesepakatan gencatan senjata, katanya.
Duta Besar Prancis yang baru untuk PBB, Jérôme Bonnafont, menyampaikan belasungkawa terdalam negaranya kepada Sharabi tetapi juga mengutuk dimulainya kembali pemboman Israel, dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan menjamin pembebasan sandera, dan menuntut diakhirinya blokade kemanusiaan Israel terhadap Gaza.
Wakil duta besar Rusia untuk PBB, Dmitry Polyansky, mengatakan kepada dewan, "Hati kami dipenuhi dengan kesedihan saat kami mendengarkan kisah tragis Tuan Eli Sharabi," seraya menambahkan "kebrutalan seperti itu tidak dapat dibenarkan."
Polyansky mengkritik para pemimpin Israel karena tidak bergerak ke fase 2 dari kesepakatan gencatan senjata, yang menyerukan pembebasan semua sandera dan penghentian pertempuran secara permanen. Ia mengatakan sulit untuk membahas masa depan ketika para pemimpin militer dan politik Israel tampaknya telah membuat pilihan yang mendukung perang.
Duta Besar Aljazair untuk PBB, Amar Bendjama, yang mewakili dunia Arab di dewan tersebut, menyebut Sharabi sebagai "perwakilan masyarakat sipil," dan mengatakan "tidak ada warga sipil, apa pun latar belakangnya, yang harus menanggung penderitaan."
Ia kemudian menuduh Israel "memilih-milih" hukum internasional. Ia merujuk pada larangan Israel atas bantuan kemanusiaan, bahan bakar, dan listrik yang memasuki Gaza sejak 2 Maret, pembunuhan warga sipil, dan pemutusan akses Komite Palang Merah Internasional ke lebih dari 9.500 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel sejak 7 Oktober.
Setelah semua anggota dewan berbicara, Riyad Mansour, duta besar Palestina untuk PBB, menyampaikan "belasungkawa kami" kepada Sharabi atas pembunuhan orang-orang yang dicintainya dan penahanannya yang berkepanjangan. Ia mengatakan warga Palestina "memahami penderitaan ini karena kami mengalaminya."
Sharabi tidak menyebutkan tindakan Israel, kecuali mengatakan bahwa pada pagi hari tanggal 7 Oktober, ketika dia mendengar bahwa militan berada di dalam Kibbutz Be’eri tempat dia tinggal, dia meyakinkan istrinya untuk tidak khawatir: “Tentara akan datang, mereka selalu datang.” Pagi itu, mereka tidak pernah datang.
Ia mengatakan kepada dewan bahwa ia datang untuk berbicara mewakili Alon Ohel yang berusia 24 tahun, seorang sandera yang ditinggalkannya di terowongan, dan semua orang lainnya, termasuk kakak laki-lakinya, Yossi, yang terbunuh tetapi jasadnya masih berada di Gaza. “Bawa mereka semua pulang. Sekarang!” kata Sharabi. (AP)
Editor : Sabar Subekti

Pengadilan Turki Penjarakan Wali Kota Istanbul, Pesaing Utam...
ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan secara resmi menangkap wali kota Istanbul dan pesaing utama Pre...