Loading...
HAM
Penulis: Tunggul Tauladan 10:06 WIB | Sabtu, 14 November 2015

Sarwo Edhie Wibowo: Dilema Pahlawan atau Pesakitan

Para pembicara dalam diskusi berjudul "Sarwo Edhie dan Tragedi 1965" pada Kamis (12/11). Dari kiri ke kanan: Roy Murtadho, Dr. Budiawan, dan Peter Kasenda. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Tragedi berdarah pada 1965 memunculkan sejumlah nama dengan catatan berbau ironi. Pertama, akibat tragedi ini, Presiden Soekarno yang dielu-elukan rakyat Indonesia, turun dari panggung kekuasaannya. Kedua, Bintang Mahaputra yang diterima oleh DN Aidit dicopot, bahkan dia ditembak mati di Boyolali. Ketiga, nama Mayjen Soeharto yang sebelumnya kurang dikenal, jadi naik daun. Dan, keempat, muncul pahlawan baru yang digaungkan bernama Sarwo Edhie Wibowo.

Inilah salah satu statement dari Peter Kasenda yang mengemuka dalam diskusi buku berjudul Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, yang dihelat pada Kamis (12/11) malam di Toko Buku Toga Mas, Jalan Affandi, Yogyakarta. Peter Kasenda selaku penulis buku, tak sendirian dalam diskusi tersebut, karena terdapat dua narasumber lain, yaitu Dr Budiawan (sejarawan) dan Roy Murtadho (angkatan muda Nahdlatul Ulama/NU).

“Akibat peristiwa ’65 dua orang naik dan dua orang turun dari panggung kekuasaannya,” ujar Peter Kasenda.

Bagi Peter Kasenda, nama terakhir dari empat orang tersebut cukup unik. Di mata Peter, nama Sarwo Edhie yang mencuat setelah peristiwa ’65 terjadi karena statusnya sebagai Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tugas utama Sarwo Edhie adalah penumpasan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor dalam Tragedi ’65. Kegemilangan Sarwo Edhie dalam menumpas PKI membuat namanya membubung tinggi.

“Padahal dilihat dari kemampuan militer, Sarwo Edhie bukan orang hebat. Dia pernah memimpin sebuah pasukan saat revolusi fisik. Tapi, akibat kepemimpinannya, anak buahnya sampai menangis dan minta pulang. Alhasil Sarwo Edhie turun pangkat. Dia juga bukan orang yang cocok menjadi Komandan RPKAD. Karena sebelum menjadi komandan, dia berlatih dulu menjadi pasukan komando di Batujajar,” jelas Peter Kasenda.

Kegemilangan Sarwo Edhie dalam menumpas PKI hingga kiprahnya di dunia militer dan politik Indonesia membuatnya diusulkan untuk mengecap gelar Pahlawan Nasional. Namun, hal tersebut masih belum tercapai menyusul anggapan yang mengemuka menyoal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada Tragedi ’65. Dalam tataran ini, Sarwo Edhie sebagai Komadan RPKAD, secara langsung tersandung kasus pelanggaran HAM. Inilah yang membuat dilema tersendiri bagi sosok Sarwo Edhie, di satu sisi dia pahlawan, pada sisi lain dia juga pesakitan.

Dr Budiawan, selaku pembicara kedua, secara khusus menyoroti soal Tragedi ’65. Bagi Budiawan, Tragedi ’65 tak berhenti pada Gerakan 30 September atau 1 Oktober semata, namun lebih jauh dari itu, hingga tahun 1968, di mana terjadi pembunuhan besar-besar anggota PKI atau orang yang disangkakan sebagai simpatisan PKI. “Tragedi ’65 bukan hanya 30 September 1965 tapi sampai tragedi kemanusiaan hingga 1968,” kata Budiawan.

Menurut Budiawan, Tragedi ’65 merupakan muara dari konflik politik-militer yang terjadi di Indonesia. PKI yang pada Pemilihan Umum 1955 menempati peringkat ke-4, di tahun 1957 tercatat telah memenangkan sejumlah pemilihan daerah, seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, hingga Bali. Ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pihak-pihak tertentu.

Pada sisi lain, hubungan mesra antara PKI dan Soekarno dianggap sebagai ancaman oleh pihak tertentu. Alhasil, muncul kabar yang menyebutkan Soekarno menurun kesehatannya dan pada sisi lain, terdapat sekelompok jenderal yang ingin memanfaatkan kesempatan tersebut. PKI yang tak berdaya jika Soekarno turun dari panggung kekuasaannya, mencoba meredam situasi hingga terjadi penculikan terhadap beberapa jenderal. Penculikan yang awalnya sebagai bagian dari proses interogasi, berubah menjadi peristiwa berdarah. Alasan ini digunakan oleh pihak militer untuk memukul PKI hingga ke akar-akarnya.

“Terdapat salah komunikasi dalam menerjemahkan perintah dari Aidit kepada Syam Kamaruzaman, yang diteruskan kepada Brigjen Suparjo, kemudian Letkol Untung hingga ke tingkat prajurit seperti Sabur dan Bungkus. Perintah awal Aidit adalah culik hidup-hidup para jenderal, tetapi sampai ke bawah, perintah menjadi culik jangan sampai lolos. Akibatnya, terdapat tiga jenderal yang meninggal dan tiga yang hidup. Karena panik akibat dari kesalahan menjalankan perintah, maka perintah berubah menjadi, habisi,” jelas Budiawan.

Militer memanfaatkan situasi itu untuk memukul balik PKI. Mereka menggandeng ormas-ormas, salah satunya NU, yang sejak awal berseberangan paham dengan PKI. Propaganda disebar ke sejumlahh pesantren dan mempengaruhi para kiai. Alhasil, NU menjadi salah satu aktor yang berperan besar dalam pemusnahan anggota-anggota PKI atau orang yang disangkakan sebagai simpatisan PKI.

“Hingga hari ini, Tragedi ’65 masih membekas kuat dalam Angkatan Muda NU karena mereka terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jujur diakui bahwa pembantaian 1965 di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak dilakukan oleh orang-orang NU,” ungkap Roy Murtadho.

Hal yang disayangkan oleh Roy adalah PBNU sedemikian cepat memutuskan untuk berperang melawan PKI dengan cara, yang menurut Roy, jauh dari nilai-nilai Islam. Menurut Roy, ormas Islam dikenal sangat moderat.

“Tanggal 4 Oktober 1965, PBNU mengeluarkan surat politik untuk ikut mengganyang PKI. Ini aneh karena kiai sepuh yang awalnya dikenal lambat dalam mengambil keputusan, bisa sangat cepat memutuskan untuk ikut mengganyang PKI. Setelah ditelusuri, ternyata terdapat desakan dari dalam PBNU sendiri dan dari propaganda militer yang turun ke pesantren-pesantren untuk membujuk para kiai menumpas PKI. Saat surat telah ditandatangani, militer menyebarluaskannya ke pesantren-pesantren dan simpatisan NU, sehingga pecahlah tragedi kemanusiaan,” Roy menjelaskan.

Pernyataan perang tersebut menyebabkan korban jiwa yang sangat besar di pihak PKI. NU melihat bahwa terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. NU berusaha untuk memperbaiki kesalahan tersebut dengan kembali mengeluarkan surat politik pada 11 Oktober 1965. Isi surat adalah menyerukan kepada seluruh warga Nahdliyin untuk menjaga hubungan baik dengan PKI dan militer.

“Tapi surat politik tersebut gagal disosialisasikan dan huru-hara di akar rumput tidak bisa dihentikan,” kata Roy Murtadho.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home