SBY Tak Layak Terima World Stateman Awards, Indonesia Gagal Jalankan Mandat Konstitusi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Indonesia gagal menjalankan mandat konstitusionalnya untuk merawat keberagaman dan menjamin kebebasan beragama / berkeyakinan. Hal ini diungkapkan Setara Institute SOBAT KBB menanggapi World Statesman Award dari Appeal Of Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penghargaan itu akan diberikan pada 30 Mei di New York. Tentang hal ini kedua lembaga menyatakan bahwa ACF tidak memiliki upaya yang kredibel dalam menentukan figur yang layak menerima penghargaan. Sedangkan SBY yang dinilai kepemimpinannya lemah dalam memberi jaminan kebebasan beragama dan hak azasi manusia, tidak cukup dasar untukmpenghargaan tersebut.
Pernyataan itu disampaikan oleh Direktur Setara Institue, Hendardi, dalam jumpa pers yang digelar Kamis (23/05) bersama Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama / Berkeyakinan (SOBAT KBB) di Jakarta. Hadir pada ksempatan itu, Dr. Adnan Buyung Nasution,Todung Mulya Lubis, dan Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid.
Setidaknya ada empat seruan yang mereka sampaikan. Pertama, Presiden SBY menjadi potret lumpuhnya kemepimpinan sebuah pemerintah menghadapi intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Penghargaan ACF tersebut justru bertolak belakang dengan fakta kekerasan intoleransi atas nama agama yang terjadi di Indonesia.
Yang kedua, diserukan bahwa penghargaan ACF ini hanyalah sekadar rangkaian seremoni elitis yang sarat dengan kepentingan bisnis global. Sejak 2004 sampai sekarang, angka pelanggaran kebebasan beragama / berkeyakinan terus mengalami peningkatan dan diikuti lahirnya produk regulasi yang cenderung diskriminatif serta legitimatif bagi tindakan intoleran.
Sikap yang ketiga adalah, penghargaan ACF pada Presiden SBY seolah menjadi ejekan bagi bangsa Indonesia. Orang nomor satu di Indonesia itu diminta untuk introspeksi tentang kepantasan dan berkaca pada mereka yang selama ini menjadi korban dan tidak mendapat perlindungan dari negara dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan.
Yang terakhir, penghargaan itu adalah hak dan mengandung harapan ACF agar SBY segera bertindak untuk memperbaiki kondisi kebebasan beragama / berkeyakinan di Indonesia. Kelemahan kepemimpinan SBY adalah political courage, tidak berani melangkah kalau tahu berisiko dan tidak aman secara politik.
Fakta Kekerasan Oleh Kelompok Intoleran
Setara menambahkan, dari tahun 2007 – 2012 banyak peristiwa dan tindak pelanggaran beragama / berkeyakinan di indonesia. Tahun 2007, tercatat ada 185 peristiwa dan 135 tindak pelanggaran beragama / berkeyakinan. Tahun 2008 melonjak menjadi 367 dan 265 kasus. Jumlah kasus itu berubah di tahun 2009 menjadi 291 dan 200.
Tahun 2010 jumlah kasus kembali meningkat menjadi 216 dan 286. Tahun 2011 menjadi 244 dan 299 kasus. Terakhir di tahun 2012 ini Setara menemukan ada 371 peristiwa dan 264 tindak pelanggaran beragama / berkeyakinan.
Data Dasar Seruan
Beberapa hal berikut merupakan dasar sikap dan seruan kedua lembaga. Dua komunitas pengungsi korban kekerasan atas nama agama yang menimpa penganut Syiah di GOR Sampang, mereka mengungsi selama sembilan bulan. Di Jawa Timur dan jemaat Ahmadiyah di Transito, Mataram, serta NTB harus mengungsi lebih dari tujuh tahun.
Pembangkangan hukum oleh kepala-kepala daerah yang tidak menjalankan putusan lembaga-lembaga peradilan yang telah memutuskan keabsahan pendirian tempat-tempat ibadah. Hal ini terlihat dalam kasus GKI Taman Yasmin, Bogor dan HKBP di Bekasi.
Tidak adanya langkah progresif yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri untuk memprakarsai pembentukan UU yang memberikan jaminan kebebasan beragama / berkeyakinan sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan / Penodaan Agama.
Adanya pengabaian hak-hak korban pelanggaran kebebasan beragama / berkeyakinan atas hak pemulihan pascakonflik (baca: kekerasan dan diskriminasi) dan mandat UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Polri yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, justru kurang profesional dalam ranah penegakan peraturan perundang-undangan tapi pada desakan sekelompok kecil masyarakat yang terus menerus menyebarkan virus intoleransi.
Tidak adanya prakarsa dari Kemenhuk HAM dan kementerian terkait untuk secara bertahap, cepat, dan terbuka melaksanakan rekomendasi Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review) Dewan HAM PBB, Mei 2012 terkait kebebasan beragama / berkeyakinan di Indonesia.
Kekerasan terus berlanjut menimpa jemaat Ahmadiyah, di Bekasi, Tasikmalaya, Tulungagung, dan di tempat lain.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...