Sekum PGI: Multikulturalisme, Cegah Radikalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Sekum PGI), Pdt. Gomar Gultom, M.Th mengemukakan salah satu cara menangkal radikalisme yakni membekali generasi muda dengan pendidikan multikulturalisme.
“Salah satu yang ditanamkan sejak masa kanak kanak adalah pendidikan multikulturalisme, dari metode ini seseorang dilatih makin sadar bahwa dia bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda,” kata Gomar kepada satuharapan.com, Selasa (2/12) di Kantor PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta.
Salah satu rekomendasi Sidang Raya XVI PGI yang berlangsung di Nias beberapa waktu lalu adalah umat Kristen jangan terjebak dalam berbagai tindakan radikalisme di Indonesia.
Gomar menyebut nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila merupakan landasan terbaik yang dipegang para pemuka agama guna diajarkan kepada para umatnya di Indonesia.
“Radikalisme muncul dari sekelompok orang, nah sekarang tinggal bagaimana kita (para pemuka agama) menyepakatinya, yakni bagaimana kita menyikapi tindakan seperti ini dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” Gomar menambahkan.
“Perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat yakni perbedaan suku, agama, dan latar belakang sosial budaya lainnya, akan tetapi bangsa Indonesia saat ini bisa saling menghargai, oleh karena itu dari situ pendidikan itu (multikulturalisme) mulai terbangun sejak masa kanak kanak,” Gomar melanjutkan.
Beberapa waktu lalu, seorang pemerhati pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu mengungkapkan hasil temuannya terkait keberagaman di sekolah dasar di Indonesia ternyata di beberapa sekolah masih ada yang tak menerapkan makna dari Bhinneka Tunggal Ika.
"Kami menemukan di beberapa sekolah makin sedikit siswa berbeda agama dan kepercayaan dan mengutamakan agama mayoritas terlihat dari seragam sekolah, pengisian rutinitas serta simbol-simbol yang digunakan di wilayah sekolah,” lanjut Henny.
Selain itu, menurut Henny ada sebuah sekolah yang enggan melaksanakan upacara dan menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. “Kami menemukan penolakan upacara dan lagu Indonesia Raya di sekolah hanya 15 menit di sekolah kawasan Cikeas. Buat apa katanya karena hormat itu kepada Tuhan bukan Indonesia Raya. Ini kan memprihatinkan," kata Henny.
PGI melihat bahwa NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah/ Islamic State Iraq and Syria,ISIS) adalah sebuah fenomena berbahaya yang semakin mengglobal, demikian diungkapkan Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan PGI, Henrek Lokra, menurut Henrek NIIS merupakan suatu organisasi yang akhir-akhir ini dianggap berbahaya.
“Dalam hitungan bulan, menurut pengamatan kami, NIIS bisa menghimpun lebih dari 2.000 anggota,” lanjut Henrek.
Henrek mengemukakan bahaya NIIS karena tidak hanya berbahaya di Indonesia, tetapi di dunia dan mengancam umat beragama lainnya.
“Gerakan NIIS ini mengglobal, dan ketika sebuah fenomena mendunia terjadi, maka itu menjadi hal yang penting bagi PGI,” Henrek menambahkan.
PGI tidak hanya menggaris bawahi NIIS sebagai fenomena yang dianggap berbahaya, akan tetapi beberapa ormas (organisasi kemasyarakatan) lainnya yang dianggap radikal yakni Front Pembela Islam (FPI) yang beberapa waktu belakangan mengemuka karena aksi kekerasan menentang Basuki Tjahaja Purnama sebelum dan yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Gomar menyayangkan saat ini radikalisme justru muncul dari generasi muda, dan menurut dia pemerintah perlu secara serius ditangani bersama antara pemerintah dan para pemuka agama.
“Saat ini multikulturalisme malah dari kalangan remaja dan generasi muda, ini yang menjadi keprihatinan kita,” Gomar mengakhiri pembicaraannya.
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...