Ulama Tolak Ubah Aturan Batas Usia Nikah
JAKARTA, SATUHARAPAN, COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menolak mengubah aturan batas usia nikah perempuan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Kesenjangan yang terlalu jauh dengan usia dewasa (baligh) menurut ajaran Islam banyak menimbulkan kerusakan yang terjadi di dalam masyarakat, seperti adanya perzinaan, seks bebas atau fenomena hamil di luar nikah yang seringkali pada gilirannya menimbulkan ekses negatif meningkatnya aborsi di kalangan remaja wanita," kata Ketua MUI KH Amidan Syahberah saat memberi keterangan sebagai Pihak Terkait pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (2/12).
Menurut Amidan, dengan angka batas minimal 16 tahun untuk usia kawin wanita, maka ekses-ekses negatif yang terjadi di masyarakat seperti itu bisa diantisipasi.
"Oleh karena itu, pengaturan batas minimal 16 tahun usia perkawinan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tidak perlu dipermasalahkan dan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945," kata Amidan.
Hal yang sama juga diungkapkan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin bahwa frasa 16 tahun bagi wanita dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1974 tidak perlu diubah karena sudah disetujui pembuat UU di DPR dan para ulama di Indonesia.
Menurut Ahmad Ishomuddin pertimbangan usia nikah minimal 16 tahun bagi wanita pertimbangannya antara lain kebebasan remaja yang luar biasa.
"Meningkatkan batasan pernikahan menjadi 18 tahun itu mirip dengan menunda-nunda pernikahan, sementara pernikahan merupakan solusi atau jalan keluar dari pergaulan bebas dan perzinahan," katanya.
Sedangkan Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara juga meminta majelis hakim MK untuk menolak permohonan pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah.
"Al Quran secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan," kata Ibnu Sina.
Dia mengungkapkan batasan umur nikah berdasarkan Islam adalah sudah cukup umur untuk menikah (baligh), yakni pikirannya telah mampu mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ibnu Sina mengungkapkan bahwa awal baligh secara yuridik berusia 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, sedangkan batas akhirnya masih terdapat perbedaan di kalangan ulama.
Menurut Imam Abu Hanifah yakni mencapai usia 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah yaitu apabila seorang telah mencapai usia 15 tahun bagi laki-laki dan wanita.
Pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sabaniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."
Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."
Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon meminta MK menyatakan batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...