Sekum PGI: Pemimpin Agama Harus Cerdaskan Umat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Tugas kita, para pemimpin agama, dan negara saat ini, adalah mencerdaskan bangsa termasuk mencerdaskan umat,” kata Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Sekum PGI), Pdt Gomar Gultom, MTh kepada satuharapan.com, Selasa (2/12), di kantor PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.
Gomar mengemukakan hal itu termasuk mencerdaskan siapa pun yang menolak Basuki Tjahaja Purnama, supaya memakai konstitusi sebagai dasar bersikap, bukan ukuran primordial. Ia mengomentari unjuk rasa menolak laki-laki yang akrab disapa Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, Senin (1/12), yang digelar di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Menurut Antara, Gubernur DKI versi Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) KH Fahrurrozy Ishaq meminta DPRD Provinsi menurunkan Ahok dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Ibu Kota.
"DPRD harus tegas dan menolak Ahok sebagai gubernur. Gunakan Hak Interpelasi dan Hak Angket untuk menurunkannya," ujar Fahrurrozy Ishaq, di sela orasinya saat unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin.
Fahrurrozy mengaku tidak akan berhenti menyuarakan dan memimpin massa menggulingkan Ahok hingga batas waktu yang tak ditentukannya.
"Perjuangan kami tidak akan pernah berhenti dan terus meminta dengan suara lantang bahwa Ahok harus mundur. Kalau tidak mau maka kami yang melengserkannya," kata dia.
Komentar NU dan Muhammadiyah
Sebelumnya, pada pertengahan Oktober Ketua Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid, sangat tegas menyatakan bahwa di atas hukum agama ada konstitusi yang harus ditaati seluruh warga negara. Tentang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ia menegaskan agar tidak mengukur dia dari agama yang dianutnya melainkan dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan rakyat DKI Jakarta.
Nusron mengkritik pihak-pihak yang menggunakan alasan agama untuk menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. "Kalau memang ada masalah-masalah terhadap individu Ahok, yang perlu dibuktikan adalah nalar konstitusionalitasnya, bukan pada nalar suka atau tidak suka," kata Nusron.
"Saya kira orang seperti Ahok senang berdebat, bukan antidebat. Tadi dikatakan mulutnya cablak, orang cablak pasti dia suka debat, suka dikritik, iya kan?! Karena itu yang kita tekankan adalah apa yang dilanggar dalam undang-undang dasar oleh Ahok. Itu harus dibuktikan secara konstitusional. Perkara dia kemudian ditetapkan oleh konstitusi menjadi gubernur atau tidak menjadi gubernur, itu urusan konstitusi, tugas konstitusional, bukan tugas suka atau tidak suka. Kalau kita ingin menerima karena alasan agama nggak mau dipimpin, karena mayoritas umat Islam nggak mau dipimpin orang minoritas dan sebagainya, pada satu sisi kita melihatnya 'ini Indonesia'. Di Indonesia tidak mengenal dominasi mayoritas maupun tirani minoritas," ucap dia.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq mengatakan munculnya Gubernur DKI tandingan akibat penolakan terhadap pelantikan Ahok sebagai orang nomor satu DKI justru memperuncing isu SARA.
"Sebagai ekspresi kebebasan berpendapat sah-sah saja tindakan itu. Namun saya tidak melihat alasan kuat yang dapat membenarkannya kecuali semata-mata alasan politik dan kebencian sektarianisme," kata Fajar di Jakarta, Senin (1/12).
Menurut dia, aksi penolakan itu justru merusak tata demokrasi Indonesia. Alasannya, aksi itu merupakan bentuk provokasi dalam mengingkari aturan main yang sudah disepakati.
Salah satu kader Muhammadiyah ini mengatakan, aksi itu malah mencerminkan kesempitan cara pandang berwarga negara. Alasannya, pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu jelas-jelas sudah sesuai prosedur.
Terlebih, masih kata Fajar, Ahok terpilih secara demokratis sebagai Wakil Gubernur DKI mendampingi Jokowi pada Pilkada 2012 lalu. Aksi pengangkatan gubernur tandingan itu dinilainya mengeraskan sentimen-sentimen SARA yang membahayakan fondasi kebangsaan.
"Prinsip Bhinneka Tunggal Ika mutlak dilembagakan dalam institusi kenegaraan, terutama dalam kepemimpinan selama sejalan dengan semangat Pancasila. Yang disesalkan juga adalah sikap beberapa pimpinan DPRD DKI yang telah dijadikan celah pembenaran oleh kelompok yang tidak setuju dengan Ahok," kata dia.
Tidak Masalah ada Gubernur Bayangan
Namun, Gomar Gultom tidak mempermasalahkan ada gubernur tandingan walau dia lebih suka menyebutnya gubernur bayangan. “Kalau saya tidak suka memakai istilah gubernur bayangan sebagai tandingan terhadap gubernur yang sah, istilah itu harus diartikan lagi sebagai sekelompok massa yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan tertentu yang mencoba mengeluarkan berbagai pokok pikiran yang berkontribusi untuk Ahok,” kata Gomar. “Bukan untuk melengserkannya,” ia menambahkan.
Yang penting, “Organisasi penolak Basuki harus dengan tenang dan jernih menggunakan landasan konstitusi sebagai dasar bersikap, jangan dengan ukuran primordial, sebab kalau tidak maka akan kacau semua,” Gomar melanjutkan.
“Paling baik menurut hemat saya kita jalanin saja dan menunggu sisa waktu Ahok tiga tahun menjabat ini sebagai pemimpin daerah,” Gomar menambahkan.
Gomar juga menegaskan bahwa ia turut mengkritik kalau Basuki tidak taat kepada konstitusi. Warga DKI Jakarta juga harus mengkritik Basuki. “Kalau ada kebijakan dia yang menyimpang, baru kita kritik bersama-sama,” Gomar mengakhiri pembicaraan.
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...