Selfie: Pencitraan Diri?
Setiap orang berusaha agar potret dirinya terlihat bagus.
SATUHARAPAN.COM – Tren memotret diri sendiri atau selfie saat ini sudah menjadi kegemaran banyak orang. Foto selfie dapat dilakukan di mana dan kapan pun. Di tempat makan, acara pernikahan, tempat wisata, sekolah dan sebagainya. Kualitas lensa kamera juga turut menjadi penentu mendapatkan foto selfie terbaik. Apalagi tahun 2015 disebut-sebut sebagai tahun narsisme di mana keberadaan tongsis (tongkat narsis) dijadikan sebagai pelengkap untuk mendapatkan foto dengan sensasi ekstrem. Keasyikan berfoto selfie tak jarang juga berujung maut. Seperti beberapa waktu lalu, seorang anak berumur 13 tahun tewas akibat terjatuh dari lantai 5 sebuah gedung di Jakarta Utara hanya gara-gara selfie. Tragis bukan?
Dalam kamus Oxford (2013), kata selfie diartikan sebagai foto seseorang yang diambil oleh orang itu sendiri, biasanya diambil dengan menggunakan smartphone atau webcam dan diunggah ke situs media sosial. Selfie sudah diperkenalkan sejak 1839 oleh seorang fotografer amatir bernama Robert Cornelius. Ia mengambil foto dirinya ini dengan cara melepas tutup kamera kemudian berlari secepat mungkin ke depan kamera agar wajahnya bisa tertangkap kamera. Di balik foto itu, ia menulis ”The first light picture ever taken. 1839.”
Selama beberapa dekade para psikolog mencoba meletakkan cermin di laboratorium untuk memahami apa yang terjadi secara psikologis ketika kita melihat diri sendiri. Ada dua hal yang ditemukan dalam percobaan itu, pertama adalah tentang kesadaran mengenai kondisi diri sendiri. Kedua, perbandingan yang terjadi di dalam diri. Ketika seseorang merasa dirinya kurang menarik seperti gemuk, berjerawat, kulit hitam, maka orang tersebut akan melakukan berbagai cara agar hasil potret dirinya terlihat bagus seperti menggunakan aplikasi filter, bahkan ada yang operasi plastik. Hal ini merupakan salah satu bentuk pencitraan diri kepada dunia.
Kebiasaan ini tidak jauh dari masalah identitas diri. Saya teringat ketika mengikuti sebuah retret tentang identitas diri, pembicara mengatakan bahwa dalam keseharian, kita sering menampilkan citra diri bukan menunjukan jati diri yang sesungguhnya. Inilah yang disebut dengan identitas diri palsu. Memanipulasi diri demi pandangan sosial yang baik terhadap dirinya. Keselamatan nyawa pun tidak dihiraukan ketika diri sendiri sudah terobsesi dengan like, komentar yang baik bahkan kekaguman terhadap foto seflie yang diunggah.
W Keith Campbell, penulis The Narcissism Epidemic sekaligus sebagai profesor psikologi di Univeristas of Georgia, pernah mengingatkan bahwa dunia ini adalah tempat yang sangat menarik. Kita pun perlu bersenang-senang dengan kerabat dan keluarga, dan tidak terjebak dalam penampilan sehingga melupakan dunia sekitar kita.
Selfie? No probem. Asal dilakukan dengan cara yang tepat.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...