Separatis Bebas, Jokowi Ingin Damai dengan Gerakan Papua Merdeka
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Pada pertengahan bulan lalu, pemimpin separatis Papua, Filep Karma, dibebaskan setelah lebih dari satu dekade berada di balik jeruji besi.
Karma telah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara setelah upacara damai di ibukota provinsi Papua, Jayapura, di mana ia mengangkat bendera Bintang Kejora, simbol gerakan pro-kemerdekaan.
“Kelompok hak asasi manusia dan perwakilan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk penahanan tersebut,” kata Ned Talbot, pakar dan pemerhati Papua dari Universitas New South Wales, dalam tulisannya di thediplomat.com.
Keputusan untuk membebaskan Karma empat tahun lebih awal dari masa hukumannya merupakan perubahan substantif dalam strategi politik Jakarta.
Sejak pengalihan Papua ke Indonesia pada tahun 1969, Papua telah terlibat dalam pemberontakan panjang yang berdarah untuk mendirikan sebuah negara merdeka. Gerakan Papua Merdeka tumbuh pesat di akhir tahun 1970.
Menurut Talbot, taktik skala kecil terhadap patroli Indonesia disukai oleh para pemimpin gerakan, bersama-sama dengan serangan yang ditargetkan pada perusahaan pertambangan di Indonesia dan luar negeri. Serangan-serangan ini mendorong upaya pembalasan oleh pasukan militer Indonesia, dengan perkiraan resmi menempatkan korban tewas yang lebih dari 100.000 orang.
Dalam upaya untuk menyoroti gerakan di luar negeri, kelompok separatis segera mengadopsi strategi yang lebih damai, yaitu non-kekerasan dan penekanan kuat pada diplomasi sebagai pengganti perjuangan kekerasan internal. Menurut Talbot, perubahan ini memiliki dampak besar pada dukungan dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pemerintah asing, dan membuat pemerintah Indonesia sulit untuk membenarkan penggunaan kekerasan terhadap demonstran damai.
Dalam langkah pertama sebagai presiden, Jokowi mencabut larangan wartawan asing berkunjung ke daerah.
“Dia juga tampaknya akan mengambil pendekatan yang lebih damai dengan Gerakan Papua Merdeka, dengan mencari cara mendapatkan kembali kepercayaan mereka, menangani isu-isu ketidaksetaraan, keterbelakangan, korupsi, dan kekerasan. Upaya tampaknya memiliki dampak pada persepsi internasional,” kata Ned Talbot.
Penekanan Jokowi adalah bagaimana menyelesaikan masalah di Papua dengan damai.
Sementara itu, menurut Talbot, menghormati kedaulatan Indonesia juga muncul di tengah manuver strategis dalam komunitas Pasifik Selatan, di mana sejumlah negara Melanesia baru-baru ini menunjukkan dukungan mereka kepada Gerakan Papua Merdeka di belakang kedaulatan Indonesia, di Papua Barat, pada pertemuan MSG 20 pada bulam Juni 2015.
Strategi damai Jokowi terhadap Papua Barat menjadi alat yang sangat efektif dalam mendestabilisasi dukungan untuk Gerakan Papua Merdeka, setidaknya dalam hal pemerintahan asing dan dukungan masyarakat sipil. Sebuah gerakan kemerdekaan yang kuat dan efektif kemungkinan harus mengubah taktik jika ingin terus meningkatkan kesadaran dan dukungan untuk kampanye politik.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...