Setara: Negara Melindungi Warga dalam Beragama bukan Memaksa
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ismail Hasani, peneliti dari Setara Institute memiliki pandangan bahwa di era kemerdekaan banyak tokoh menjelaskan masyarakat Indonesia bebas beragama, bahkan atheis pun bisa hidup di Indonesia.
Dengan pendapat yang demikian, menurut Ismail Hasani memberikan keyakinan bahwa negara menjamin kebebasan orang untuk memeluk agama atau berkepercayaan.
“Tidak ada kalimat yang mengatakan semua orang harus beragama. Atheis juga boleh hidup di Indonesia. Harusnya negara hadir melindungi warga negara beragama, bukan mengatur harus beragama,” ungkapnya di Diskusi Agama dan Masyarakat di jaringan KBR dan Tempo TV, Rabu (18/6).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Ismail Hasani, akibat dari negara yang terlalu jauh mencampuri agama, maka agama mayoritas mendapatkan porsi lebih. Porsi lebih ini, misalnya mendapatkan anggaran lebih dari agama minoritas, sehingga tidak ada pemerataan sesuai dengan konstitusi.
“Kita lihat di Kementerian Agama. Agama mayoritas mendapatkan anggaran lebih, sedangkan urusan agama lain mendapatkan anggaran kecil, tidak merata,” jelas Ismail Hasani.
Akibat lain yang tak kalah penting adalah adanya kesalahpahaman bagaimana seharusnya negara mengatur kehidupan beragama, yakni dengan munculnya kelompok-kelompok intoleran yang berlindung di balik aturan negara. Hasani mencontohkan banyak pemerintah daerah yang punya keinginan menerbitkan perda syariah.
Ismail Hasani berpendapat kebebasan beragama warga negara Indonesia itu tidak perlu diatur, negara harus menjadi universal dengan melindungi kepercayaan dan agama yang dianut penduduknya. Negara juga harus menjadi pengayom dengan berlaku adil untuk seluruh manusia.
“Yang penting justru negara wajib melindungi dari intimidasi, negara harus menjamin apa pun keyakinan beragama, bahkan tidak berkeyakinan pun harus dijamin. Negara tidak boleh diam ketika ada diskriminasi terhadap orang yang beragama dan berkeyakinan,” ungkap Ismail Hasani.
Negara Mengatur Agama
Pada kesempatan yang sama, sebelumnya Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan agama di Indonesia itu diatur oleh undang-undang dan konstitusi. Negara menjamin kebebasan beragama dan mewajibkan warga negaranya untuk beragama sesuai dengan keyakinan.
“Bagaimana bisa tidak beragama? Negara mengatur manusia harus beragama. Bahkan dalam UUD 1945 di pembukaan juga disebutkan bahwa kemerdekaan itu sudah mempercayai agama dan berdasarkan Ketuhanan. Bagaimana kalau orang mau jadi pejabat kalau tidak beragama, harus beragama untuk bisa disumpah menjadi pejabat,” jelas Patrialis Akbar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang terakhir konstitusi menganggap tidak ada masalah dalam pengaturan negara terhadap kehidupan beragama. Yang ada adalah kesalahpahaman ketika negara mengatur warganya untuk beragama.
“Dalam pernikahan contohnya. Pernikahan dianggap sah secara hukum negara apabila sudah menjalani prosesi agama. Artinya, negara hadir dalam mengatur agama dan diberikan kebebasan, namun bukan untuk mengatur tidak beragama. Konstitusi kita tidak memisahkan agama dengan negara,” jelas Patrialis yang juga bekas Menteri Hukum dan HAM itu.
Menanggapi hal ini, Ismail Hasani mengungkapkan bahwa sampai sekarang, negara masih belum bisa menjamin setiap warga negaranya bisa menjalankan ibadah keagamaannya dengan baik. Terutama mereka dari kelompok minoritas, yang kerap mengalami kekerasan akibat kegiatan keagamaannya. Padahal, katanya undang-undang dan konsitusi sudah menjamin soal kebebasan beragama itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...