Setara: RI Semakin Terkucil dengan Melanjutkan Hukuman Mati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan Indonesia tidak pada jalan yang benar menuju negara beradab dengan dieksekusinya enam narapidana pada Januari 2015 lalu dan rencananya akan mengeksekusi sepuluh naripidana lagi dalam waktu dekat. Ia menilai Indonesia akan semakin terkucil dari dunia internasional.
"Setara Institute berpandangan bahwa apabila Indonesia ingin berada dalam jalan yang benar, pemerintah Indonesia perlu menghapus hukuman mati, untuk semua tindak kejahatan termasuk di dalamnya kasus narkoba," kata Hendardi di kantor Setara Institute Jalan Danau Gelinggang Blok C-3 No 62 Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Sabtu (25/4).
Menurut Hendardi Setara Institute menemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, jumlah negara yang melaksanakan eksekusi hukuman mati mengalami tren menurun dengan tingkat rata-rata tahunan dua persan.
"Dengan kata lain, semakin banyak negara di dunia yang menerapkan moratorium atau bahkan menghapus hukuman mati," kata dia.
Tentang eksekusi terhadap terpidanan narkoba, Setara Institute memandang bahwa bergemingnya pemerintah Indonesia terhadap protes atas rencana eksekusi mati merupakan pelawanan terhadap perjanjian Internasional yang telah Indonesia ratifikasi, yakni International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) pada 2005.
"Pada tahun 2013, Komite HAM PBB memberikan nilai rendah bagi pemerintah Indonesia karena kegagalannya untuk memenuhi peringatan Komite HAM PPB agar pemerintah Indonesia menghentikan eksekusi untuk terpidana kasus-kasus narkoba," kata dia.
Menurut Hendardi pada bulan Agustus 2013, komite HAM PBB menegaskan kembali kepada negara peserta ICCPR untuk menerapkan moratorium de facto eksekusi mati.
Apabila negara peserta ingin melanjutkan hukuman mati diizinkan hanya untuk kasus-kasus kriminal paling serius di mana narkoba tidak termasuk di dalamnya.
Lebih lanjut Hendardi mengatakan pada awal April 2015, menanggapi eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkoba pada Januari 2015, Komite HAM PBB melakukan evaluasi terhadap Indonesia dan menyayangkan bahwa Indonesia belum mengamandemen undang-undang berkaitan dengan kasus narkoba.
"Komite HAM PBB memberikan nilai E kepada pemerintah Indonesia pada skala A-E, nilai yang sangat jarang diberikan kepada anggota. A menujukan bahwa kebijakan negara anggota sangat memuaskan dan E menunjukan bahwa kebijakan negara anggota melawan rekomnedasi Komite HAM PBB," kata dia.
Pengucilan Indonesia di treaty body ICCPR, kata Hendardi, terjadi karena Indonesia tidak mengindahkan peringatan keras Komite HAM PBB sejak 2013 untuk menghapus hukuman mati terhadap terpidanan narkoba.
"Hal ini akan bertambah buruk apabila pemerintah Indonesia tetap melaksanakan eksekusi terhadap terpidana narkoba lain setelah Indonesia diberi nilai E oleh Komite HAM PBB pada awal April 2015," kata dia.
"Perwakilan Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan mengapa berulangkali, setelah diperingatkan secara keras, tetap bebal. Pelanggaran peringatan ini akan menghilangkan basis legitimasi Indonesia ketika melakukan manuver diplomasi antara lain menyerukan agara para assylum seekers tidak ditolak oleh pemerintah Australia sehingga tidak membebani pemerintah Indonesia atau mengutuk Israel yang melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap Palestina di treaty body," katanya.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...